Karya-karya seni itu menghasilkan jutaan dolar bagi pekerjaan The Carter Center, organisasi yang dibentuk Carter untuk penegakan hak asasi manusia. Dia membuat salib dan piring untuk persembahan di gereja tempat dia akan dimakamkan nanti.
Carter mulai melukis setelah beranjak dewasa dan ia senang melukis pemandangan dan orang-orang dari masa kecilnya. Puisinya mengungkapkan pemikiran terdalamnya tentang istrinya, Rosalynn, ayahnya, dan bahkan Perang Dingin.
Menciptakan karya seni memberi “kesempatan langka untuk privasi” di antara kehidupan publik, kata Carter. “Saat menyendiri, kita seperti berada di dunia lain yang sangat menyenangkan.” ‘Salah satu hadiah terbaik dalam hidup saya.’
Para pelayat di kampung halaman Carter akan melihat salib di altar yang ia buat dari kayu pohon maple dan piring-piring persembahan koleksinya yang ia buat dengan mesin bubutnya.
Mantan presiden itu menganggap dirinya seorang perajin yang “cukup mahir”. Chris Bagby, seorang tukang kayu di Atlanta yang tokonya sering dikunjungi Carter, setuju dengan anggapan itu.
Carter mempelajari dasar-dasar kerajinan kayu di pertanian milik ayahnya. Ketika itu Amerika sedang dalam masa Depresi Hebat. Kondisi itu menuntut orang untuk serba bisa.
“Saya membuat miniatur Gedung Putih,” kenangnya. Ia menegaskan bahwa ia membuat itu bukan karena ia berambisi ke Gedung Putih.
Selama mengabdi di Angkatan Laut, Jimmy dan Rosalynn Carter memilih perumahan militer tanpa perabotan supaya tidak membebani kehidupannya dengan gaji bulanan $300. Ia kemudian membuat sendiri perabotan di bengkel di pangkalan Angkatan Laut.
Sebagai presiden, Carter lebih menyukai mengutak-atik kayu daripada bermain golf. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di bengkel kerajinan kayu di Camp David untuk membuat hadiah kecil bagi keluarga dan teman. [ps/ka]
Forum