Primata terkecil di dunia yang dikenal dengan nama Tarsius, atau lengkapnya Tarsius Dentatus, merupakan satu dari tiga jenis Tarsius yang berada di Sulawesi Tengah. Namun secara keseluruhan di Pulau Sulawesi ada 11 Jenis Tarsius.
Secara umum Tarsius bertubuh kecil dengan mata yang relatif lebih besar dari tubuhnya, dengan diameter bola mata sekitar 16 mm. Walhasil untuk menemukan makanan, Tarsius harus memutar kepala 180 derajat.
Primata ini memiliki panjang kepala dan tubuh antara 10 sampai 15 sentimeter, namun kaki belakangnya hampir dua kali panjang tubuhnya, ia juga memiliki ekor yang ramping dengan panjang 20 hingga 25 centimeter. Tarsius merupakan hewan nokturnal atau aktif mencari makan pada malam hari. Serangga dan vertebrata kecil seperti ular dan cicak merupakan makanan utama Tarsius.
Delapan Tahun Terakhir Populasi Tarsius Meningkat
Pada tahun 2000, populasi Tarsius di Sulawesi Tengah dinyatakan terancam. Namun delapan tahun terakhir ini jumlahnya mulai meningkat.
Menurut Tasliman, Kepala Seksi 2 Poso pada Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah, indikasi meningkatnya Tarsius didasarkan pada pengamatan di 19 kawasan konservasi, Taman Nasional Lore Lindu dan Cagar Alam Morowali. Semakin baiknya kesadaran masyarakat yang tidak lagi menganggap Tarsius sebagai hama yang merusak tanaman perkebunan, ditengarai ikut mendorong populasi hewan ini.
Tasliman mengatakan, "Kalau dulu ini dianggap hama sebenarnya ini Tarsius, tapi sekarang karena sudah banyak masyarakat sudah paham ini sebagai malah dia membantu masyarakat sebagai satwa predator, sehingga sekarang mereka (masyarakat) ikut membantu untuk melindungi makanya penyebarannya (Tarsius) agak meningkat, karena hampir setiap saat kalau kita jalan kalau kita melewati hutan, suaranya itu masih sangat jelas kita dengar walaupun dia di luar kawasan."
Delapan Jenis Tarsius Hidup di Pulau Sulawesi
BKSDA Sulawesi Tengah saat ini mendata tiga jenis Tarsius endemik di Sulawesi Tengah yaitu Tarsius Dentatus, Tarsius Lariansis yang hanya berada di sepanjang aliran sungai Lariang; dan Tarsius Pumilus. Dari ketiga jenis Tarsius itu, Tarsius Pumilus sempat dikwatirkan telah punah sebelum keberadaannya kembali ditemukan di gunung Rore Katimbu, di perbatasan Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi dalam sebuah penelitian di tahun 2013 silam. Selain ketiga jenis itu, di Pulau Sulawesi masih terdapat delapan jenis Tarsius lainnya termasuk dua spesies yang diumumkan pada Mei 2017 dengan nama Tarsius spectrumgurskyae dan Tarsius supriatnai.
"Hanya yang agak terancam itu ada yang jenis Tarsius Pumilus, itu data terakhir lalu itu dia itu sebenarnya sudah dianggap punah tapi rupanya penelitian terakhir oleh Nanda Grow dari Texas University tahun 2013 rupanya dia temukan kembali yang Tarsius Pumilis yang dianggap punah tepatnya di gunung Rore Katimbu, itu menjadi satu-satunyaspot (lokasi) yang ada Tarsius Pumilusnya," jelas Tasliman.
Di Sulawesi Tengah, Tarsius juga dapat ditemukan di hutan yang berada diluar kawasan konservasi maupun taman nasional. Di desa Maliwuko, di kecamatan Lage, kabupaten Poso misalnya, keberadaan Tarsius yang disebut dengan bahasa lokal sebagai “Tangkasi” sudah lama diketahui warga. Kepala Desa Maliwuko, Simon Lapangoyu, mengatakan ketidakpahaman terkait status Tarsius sebagai hewan yang langka dan dilindungi undang-undang menyebabkan warga menangkap Tarsius untuk dijadikan hewan peliharaan.
"Kami baru tahu bahwa ini yang dinamakan Tarsius, kalau di Maliwuko, nama aslinya disini disebut sebagai Tangkasi, dengan bunyi yang khasnya seperti itu, dia berbunyi pada jam-jam 6 sore biasanya. Kedepan kalau yang memelihara ini kita akan koordinasi dulu dengan pihak-pihak yang terkait mengenai perlindungan hewan tersebut apakah akan dikembalikan atau bagaimana tindak lanjutnya kami masih akan koordinasikan, karena masyarakat yang memelihara ini juga tidak tahu persis bahwa ini binatang yang dilindungi," kata Simon.
Kelompok Pencinta Alam Serukan Pemerintah Lindungi Habitat Tarsius
Artaban Esly Tamalagi pengamat Tarsius dari Kelompok Pecinta Satwa Tarsius Sulawesi Tengah menilai perlu perhatian serius dari pemerintah untuk melindungi habitat Tarsius dari aktivitas pembukaan lahan perkebunan.
"Kalau di hutan Primer yang kita lihat biasanya ketika serangga masih banyak, hutan-hutan primer yang belum banyak dijamah oleh manusia, itu mereka tidak butuh area yang luas tetapi ketika okupasi oleh masyarakat yang besar sekarang ini yang membuat mereka mereka harus beradaptasi sampai ada yang pernah kami temukan, mereka tidur di semak-semak, tidur di areal paling bawah dari lantai hutan, di areal yang ekstrim bagi mereka karena mereka adalah peloncat," kata Artaban.
Pemerintah Tetap Nyatakan Tarsius sebagai Hewan yang Dilindungi
IUCN atau Uni Internasional Untuk Konservasi Alam, organisasi internasional yang didedikasikan untuk koservasi sumber daya alam masih menempatkan Tarsius pada kategori rentan. Pemerintah Indonesia juga memasukkan seluruh jenis Tarsius sebagai hewan yang dilindungi, yaitu lewat Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. [yl/em]