Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja tidak konstitusional. DPR dan pemerintah diberi waktu dua tahun untuk memperbaikinya, agar dinilai konstitusional. Namun, hakim MK juga memutuskan bahwa UU Cipta Kerja tetap berlaku.
Keputusan MK menimbulkan polemik setelah keputusan pada 25 November lalu, yang memastikan DPR dan pemerintah harus memperbaiki proses penyusunannya sejak awal. Keputusan MK tetap mengakui UU Cipta Kerja, tidak selaras dengan pendapat mereka sendiri bahwa UU tersebut tidak konstitusional.
Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar menilai poin putusan itu tidak tepat. “Kalau memang dikatakan semua yang memiliki implikasi luas dan strategis ditangguhkan, dimana saya setuju itu, harusnya jangan dicantumkan bunyi poin putusan yang mengatakan bahwa UU ini tetap berlaku,” kata Zainal dalam diskusi Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law, Jumat (3/12).
Gara-gara poin putusan ini, lanjut Zainal terjadilah kebingungan. “Harusnya lurus saja, beku sementara waktu. Semua aturan kembali ke aturan lama sementara waktu, sampai kemudian dilakukan perbaikan,” tambahnya.
Di samping itu, Zainal juga tidak setuju bahwa materiil UU Cipta Kerja tidak perlu dipersoalkan lagi, karena sudah dinyatakan cacat secara formil. Materi UU ini harus tetap memperoleh perhatian semua pihak, karena dia menilai banyak pasal berpotensi masalah.
“UU ini sangat tricky. Semakin ke dalam semakin banyak yang harus diperhatikan. Bukan persoalan di pasalnya, tetapi kemungkinan pemaknaan pasal,” ujar Zainal memberi contoh.
Dia juga mengingatkan, seluruh Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan UU Cipta Kerja, juga tidak dilaksanakan.
Sejauh ini, pemerintah memang memastikan UU Cipta Kerja dan produk turunannya tetap berlaku. Kondisi ini muncul akibat ketidakjelaskan putusan MK itu sendiri. Zainal mengkritik putusan tersebut, yang dia sebut tidak menyelesaikan masalah tetapi justru memperpanjang masalah.
“Dan itu yang disukai pemerintah dan DPR, karena dia bisa berlindung dibalik ketidakjelasan itu untuk menjalankan sesuatu menjadi lebih tidak jelas,” papar Zainal lagi.
Kembali ke Aturan Lama
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari juga menekankan, ketika sebuah UU dinyatakan tidak berlaku, aturan kembali ke UU lama.
“Putusan MK 28 PUU XI/2013 sama 1-2 PUU XII/2014 yang menjelaskan bahwa ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan sebuah UU, maka tidak ada kekosongan hukum karena akan otomatis berlaku peraturan sebelumnya,” kata Feri.
Karena itulah, tidak peduli soal putusan MK itu konstitusional bersyarat atau tidak bersyarat, kekosongan hukum tidak pernah terjadi.
“Kalau mahkamah menyatakan bahwa sebuah UU bertentangan dengan UUD, ini dasar uji formil, maka UU yang dinyatakan bertentangan itu dinyatakan tidak mengikat,” tambahnya.
Feri menyebut, DPR dan pemerintah memiiki tugas yang sangat berat dalam dua tahun ke depan, dalam memperbaiki UU Cipta Kerja. Sesuai amanat MK, perbaikan harus dimulai sejak perencanaan, atau dalam hal ini penyusunan naskah akademik. Selain itu, DPR dan pemerintah juga harus melakukan sosialisasi seluruh naskah akademik, yang jumlahnya 78 itu, ke seluruh pihak terkait. MK sendiri menyoroti kelemahan proses ini dalam penyusunan UU Cipta Kerja.
Aliansi Tolak UU Cipta Kerja
Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law sendiri menyampaikan sejumlah tuntutan. Melalui juru bicaranya, Herdiansyah Hamzah, aliansi menilai presiden telah mengabaikan putusan MK, dengan menyatakan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta seluruh aturan pelaksanaannya tetap berlaku dan dapat dijalankan.
“Ini jelas merupakan pembangkangan terhadap putusan MK yang dapat dikategorikan sebagai penghinaan terhadap peradilan atau contempt of court,” ujar Herdiansyah.
Aliansi tegas menolak pemberlakuan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta seluruh aturan pelaksanaannya.“Sebagaimana yang disebutkan secara eksplisit baik dalam amar putusan maupun pertimbangan putusan MK,” tambah Herdiansyah.
Para akademisi ini menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, dari berbagai sektor, yang telah menjadi korban UU Cipta Kerja yang pro investasi, untuk terus melancarkan aksi-aksi menuntut agar UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dibatalkan secara permanen.
Presiden Jokowi sendiri dalam pernyataan resminya, Senin (29/11) menyatakan, UU Cipta Kerja tetap berlaku sesuai dengan putusan MK. Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU diberi waktu maksimal dua tahun untuk melakukan revisi atau perbaikan.
“Dengan demikian, seluruh peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang ada saat ini masih tetap berlaku,” kata presiden.
MK Punya Pertimbangan Sendiri
Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra dalam kesempatan berbeda menyebut, MK tidak bisa serta merta memutuskan UU Cipta Kerja tidak berlaku.
“Mahkamah menemukan ada proses pembentukannya yang cacat. Disuruh ulang untuk itu. Kalau mau rem mendadak, begitu ketemu cacatnya lalu dibatalkan undang-undang. Itu mendadak. MK punya cara sendiri, punya pertimbangan sendiri, jangan mendadak lah, harus begini, harus ada masa peralihan, transisi, begini dan segala macamnya,” kata Saldi Isra dalam kuliah umum yang disiarkan laman MK, Sabtu (3/12).
Saldi juga mempersilahkan seluruh pihak untuk berdebat tentang putusan MK tersebut. “Kan ada yang setuju banget dengan putusan itu, ada yang tidak setuju sekali dan ada yang di tengah tengah. Tidak apa-apa, memang begitu putusan pengadilan,” tambahnya.
Menyinggung peran MK, dalam berbagai upaya peninjauan undang-undang, kata Saldi, MK bisa mengerem logika politik para politisi, ketika logika itu bertabrakan dengan konstitusi. [ns/ab]