Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang telah dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran etik berat dinilai akan terus menerus menjadi halangan bagi pemulihan martabat dan independensi MK.
Banyak pihak, termasuk Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia dan Hak Asasi Manusia (PBHI), menyerukannya untuk segera mundur. Adik ipar Presiden Joko Widodo itu menyebut adanya upaya terorganisir untuk membunuh karakternya.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Selasa lalu (7/11) telah memberhentikan Anwar Usman sebagai ketua Mahkamah Konstitusi karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim dalam pengambilan keputusan perkara tentang batas usia minimal calon presiden dan wakil calon presiden.
Berbicara dalam konferensi pers hari Rabu (8/11), Anwar Usman menyayangkan adanya upaya untuk mempolitisasi dan menjadikan dirinya sebagai objek dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi.
“Sesungguhnya saya mengetahui dan telah mendapat kabar bahwa upaya untuk melakukan politisasi dan menjadikan saya sebagai objek di dalam berbagai putusan MK dan putusan MK terakhir, maupun tentang rencana pembentukan MKMK telah saya dengan jauh sebelum MKMK terbentuk,” ujarnya.
Adik ipar Presiden Joko Widodo ini juga menyatakan upaya politisasi itu merupakan skenario untuk membunuh karakternya. Meski begitu, Usman menegaskan dirinya tetap berbaik sangka. Ia yakin semua hal yang terjadi sesuai kehendak Allah SWT dan mengingatkan kembali bahwa sejak awal ia telah menyatakan jabatan adalah milik Allah SWT, sehingga pemberhentiannya sebagai ketua MK tidak sedikitpun membuatnya terbebani.
Dia hanya menyayangkan proses peradilan etik yang seharusnya dilakukan secara tertutup berdasarkan aturan Mahkamah Konstitusi, yang sebaliknya malah digelar secara terbuka.
Anwar Usman menyebut rekam jejaknya sebagai hakim di bawah Mahkamah Agung sejak 1985, dan kemudian di Mahkamah Knstitusi sejak 2011, tanpa satu pun perbuatan tercela, serta tidak pernah berurusan dengan Badan Pengawas Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial.
Ia mengaku sadar betul adanya nuansa politik yang sangat kuat ketika menangani gugatan soal batas usia bagi calon presiden dan wakil presiden; dan tidak pernah takut terhadap tekanan dalam bentuk apapun dan oleh siapa pun dalam memutus sebuah perkara.
Dugaan pelanggaran etik yang akhirnya berujung pada pemberhentian dirinya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi, tegasnya, adalah fitnah yang amat keji dan sama sekali tidak berdasar atas hukum dan fakta.
"Saya tidak akan mengorbankan diri saya, martabat saya, dan kehormatan saya di ujung masa pengabdian saya sebagai hakim demi meloloskan pasangan calon tertentu. Lagi pula perkara pengujian undang-undang hanya menyangkut norma, bukan kasus konkret. Pengambilan keputusannya pun bersifat kolektif kolegial oleh sembilan orang hakim konstitusi, bukan oleh ketua semata," katanya.
PBHI: Putusan MKMK Merupakan Upaya Mengembalikan Kewibawaan MK
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan putusan MKMK terhadap Anwar Usman merupakan bagian dari upaya mengembalikan kewibawaan lembaga tersebut. Jika ia tidak mundur, maka akan terus menjadi penghalang upaya memulihkan independensi MK, tambahnya.
Ia mencontohkan sikap Arsyad Sanusi yang mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, persis setelah sidang memutuskan bahwa ia melanggar kode etik.
“Kita memakai standar tertinggi yaitu standar moral dan etika publik tadi, Kalau kita memakai standar itu maka seorang selevel negarawan seharusnya memiliki kesadaran. Jadi kami bersikap baik untuk memanggil mengundang kesadaran Anwar Usman untuk berpegang pada moral dan etika publik sehingga seharusnya ia mengundurkan diri,” kata Julius.
Aturan Batas Usia dalam UU Pemilu Kembali Digugat
Aturan tentang batas usia dalam Undang-Undang Pemilu kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana. Selain Brahma, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar juga mengajukan uji formil terhadap putusan yang sama.
Mereka mempermasalahkan pasal 169 huruf q UU No.7/2017 yang telah ditambah normanya oleh MK pada putusan perkara No.90/PUU/XX/2023.
Putusan perkara Nomor 90 tentang tentang batas usia minimal calon presiden dan wakil calon presiden berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk kepala daerah membuka pintu bagi putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang juga keponakan dari Anwar Usman menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu melakukan pemeriksaan pendahuluan gugatan atas perkara tersebut.
KPU: Penetapan Resmi Pasangan Capres-Cawapres pada 13 November
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa penetapan pasangan capres dan cawapres tetap akan dilaksanakan 13 November 2023. KPU, tambahnya, masih membuka kesempatan perubahan nama pasangan calon hingga tenggat itu.
Di sisi lain, KPU telah resmi merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Pencalonan Pilpres, dengan memasukan amar putusan Nomor 90 MK, yaitu menambah pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilihan kepala daerah. [fw/em]
Forum