Lahir dan besar di Solo, Jawa Tengah, Chen Sui Liang selalu bangga akan nama pemberian orang tuanya. Namun, tumbuh di masa Orde Baru membuatnya mengadopsi ‘nama Indonesia’, Ivan, nama yang kepanjangannya sudah dilupakannya.
“Kalau saya dipanggil dengan nama itu, saya jarang menoleh karena merasa orang tidak memanggil saya,” kisahnya.
Dia mengatakan, nama baru telah mencabutnya dari akar kebudayaan.
“Kalau kita minta taruhlah orang Toraja, Manado, atau orang Batak itu buat menghilangkan marganya, mereka juga pasti mereka tersinggung. Karena nama itu adalah legacy,” tambahnya.
Tekanan Orde Baru
Seperti Ivan, banyak orang Tionghoa yang tumbuh pada era 70-an dan 80-an mengubah nama mereka. Mereka mengadopsi nama-nama yang umum di Pulau Jawa. Sementara marga Tionghoa mereka disamarkan.
Semua bermula ketika Soeharto membatasi ekspresi kelompok Tionghoa atas nama asimilasi.
Tap MPRS No. 32 tahun 1966, misalnya, melarang aksara dan bahasa China digunakan untuk toko/usaha dan media massa. Menyusul, terbit Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat China yang membatasi ekspresi kebudayaan di ruang publik.
Ivan sudah mengikuti proses asimilasi itu. Namun, dia merasa komunitasnya tetap jadi warga negara kelas dua.
“Kita ubah penampilan. Biasa kita di Jawa Tengah itu generasi ke-tiga sudah nggak bisa bahasa Mandarin, tapi itu nggak mengubah apapun. Jadi, kenapa harus mengubah segala sesuatu yang tidak substansial padahal akar masalahnya bukan di situ?,” lontarnya.
Sampai tibalah Indonesia ke era Reformasi pada 1998. Orde Baru runtuh. Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut Inpres 1967. Presiden selanjutnya, Megawati Soekarnoputri, bahkan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Chen Sui Liang
Pada momen itulah, Ivan merasa ingin merebut identitasnya kembali: menjadi Chen Sui Liang.
Keinginan itu ditentang orang tuanya, yang takut anaknya akan mengalami diskriminasi ketika dewasa.
“Waktu itu karena orangtua biasa ada trauma psikologis, ya itu takut banget. Takut banget. ‘Udah lah, nama Indonesia aja’. Waktu itu sempat ada pertentangan juga, gimana kalau nanti ada masalah gini gini gini.. urus apa susah dan lain sebagainya,” terang Ivan.
Sampai pada 2004, saat berusia 23 tahun, Ivan bulat tekad. Dia pun mendatangi pengadilan di Solo. Namun perubahan nama tak semudah yang dia pikirkan.
“Seakan-akan kita yang aneh. ‘Kenapa mau pakai nama China-nya?’ Loh saya orang China. Dari suku China. Saya bilang kan, itu nggak mengubah keindonesiaan saya,” Ivan menceritakan perdebatannya dengan petugas.
Setelah proses tiga bulan, barulah Ivan dapat mengubah namanya menjadi Ivan Chen Sui Liang. Kini dia merasa jadi dirinya sendiri.
“Dalam menghadapi kehidupan sehari-hari di masyarakat itu, kita bisa lebih pede. Oh ya saya orang Tionghoa. Dan saya juga jadi merasa punya tanggung jawab atas apa yang saya bawa,” ujar pria yang kini berusia 39 tahun ini.
Menuju Integrasi yang Solid
Candra Jap dari Perhimpunan TIonghoa Indonesia (INTI) mengatakan warga Tionghoa memiliki perbedaan pendapat mengenai perubahan nama ini.
“(Terjadi) sejak tahun 65. Jadi kalau untuk orang tua itu sebagian menganggap masalah ini sudah lewat lah. Sedikit terpaksa harus mengganti nama,” ujarnya.
Sementara generasi yang lebih muda, yang mengadopsi nama non-Tionghoa, nampak semakin jauh dari kebudayaannya.
“Kita tidak lagi bisa melacak dia anak ke berapa, keturunan siapa. Itu sangat penting bagi orang Tionghoa,” jelasnya.
Dia menekankan, nasionalisme seseorang tidak bisa diukur dari nama saja. Sama pentingnya, ujar Candra, supaya warga Tionghoa menunjukkan nasionalismenya dengan berkiprah di segala bidang.
Sementara Aan Anshori, yang menginisiasi buku “Ada Aku di Antara Tionghoa dan Indonesia”, mengatakan diskusi tentang nama harus diberi ruang.
“Saya kira perubahan nama itu adalah bagian dari pendidikan yang harus diterima kita sebagai sebuah bangsa, sebagai sebuah republik. Bahwa kita harus dorong siapapun untuk bisa mendapatkan identitas yang dia mau,” terangnya.
Di atas itu semua, tambah Aan, yang penting pemerintah melindungi keberagaman di masyarakat.
“Pemerintah menjadi lebih aktif lagi untuk meminimalisir sentimen-sentimen berbasis ras. Jangan biarkan intoleransi—salah satunya intoleransi berbasis ras—itu terus mengemuka di dalam masyarakat. Kalau dibiarkan ya susah,” harap dia.
Pada akhirnya, mau ganti nama atau tidak, jadi panggilan hati masing-masing, kata Ivan.
“Misalnya ada orang Tionghoa yang masih punya trauma masa lalu, dan merasa nggak perlu pakai nama Tionghoa ya nggak masalah. Jadi saling menghormati aja,” kata dia.
Satu yang pasti, Imlek tahun ini Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah. (rt/lt)