Setelah tragedi 11 September, pandangan masyarakat dunia -khususnya Amerika Serikat- terhadap dunia Islam berubah negatif. Hal itu tidak semakin baik dalam beberapa tahun belakangan. Pandangan itu nyatanya dirasakan mantan anggota Korps Marinir Amerika pemeluk Islam, Mansoor Tahir Shams, ketika ia masih bertugas dalam kesatuan militer tersebut.
Mansoor, yang mengabdi selama empat tahun di Korps Marinir membagikan kisahnya ketika harus menghadapi perubahan sikap dari sebagian rekan kerjanya pasca Tragedi 11 September terkait identitasnya sebagai seorang Muslim. Ia kini menjadi seorang pengusaha sekaligus pemimpin muslim di komunitasnya.
"Awalnya saya mengikuti suatu ujian -ujian standar, di mana hasilnya akan menentukan penempatan Anda, pekerjaan seperti apa yang Anda bisa dapatkan di kemiliteran. Entah kenapa, yang membuat saya tertarik dengan Korps Marinir adalah karena mereka pasukan elit," katanya.
"Saya ingin menjadi yang terbaik; dan yang terbaik adalah Korps Marinir. Itu yang kemudian membantu saya sukses dalam hidup, terutama jika dikaitkan dengan perdebatan saat ini. Tidak pernah terpikir bahwa keyakinan saya dan bergabungnya saya dengan Marinir atau identitas saya sebagia orang Amerika akan menjadi sebuah konflik kepentingan," lanjut Mansoor.
Setahun setelah ia bergabung, peristiwa 9/11 terjadi, dan peristiwa itu berdampak pada dirinya.
"Secara pribadi, saya tidak pernah mengalami konflik kepentingan apa pun. Tentu saja orang-orang di sekitar saya - sesama anggota marinir, saya pikir, beberapa di antaranya berubah. Saya jadi tahu pola pikir mereka yang sebelumnya tidak saya sadari, mengaitkan Muslim dengan para pembajak pesawat dalam tragedi 11 September; lalu dengan bercanda menyebut seseorang sebagai Taliban atau teroris," jelas Mansoor.
"Seiring waktu saya perlu memberi mereka penjelasan, menghentikan semua itu; bahwa hal itu bukanlah jati diri saya, bukan ajaran agama Islam; bahwa saya cinta negeri ini seperti kalian; bahwa ada perbedaan besar antara apa yang terjadi pada 11 September dengan jati diri saya," katanya.
Mansoor menjelaskan pengalaman tidak menyenangkan yang dialaminya di Amerika, seperti dikaitkan dengan Taliban atau teroris.
"Seperti saya katakan sebelumnya, stereotip yang lebih besar menjadi bahan lelucon mereka yang mungkin tidak mengenal apa itu Islam; saya harus mengakui bahwa memang ada tantangan lain yang saya hadapi." katanya.
"Pada saat bersamaan, sebagian besar pengalaman saya di Korps Marinir adalah pengalaman yang baik, tapi jika bersinggungan dengan orang-orang dengan stereotip tertentu, lelucon itu muncul. Hal itu memengaruhi saya selama saya berada di sana," jelas Mansoor.
Keyakinannya segera dikaitkan pula dengan nasionalisme.
"Jika saja media sosial sudah ada kala itu, saya yakin sudah banyak reaksi negatif yang saya dapatkan. Saya sebagai warga Amerika Muslim yang juga anggota Korps Marinir dicaci maki oleh warga Amerika, sekaligus oleh masyarakat Muslim. Penganut Islam menyebut saya kurang Islami, sementara warga Amerika menyebut saya kurang nasionalis," paparnya.
Ia memberikankan contoh ketika dunia Muslim saling berperang, misalnya Pakistan dan India; di masing-masing negara itu ada orang islam yang menjadi tentara.
"Ketika mereka berhadapan, mereka tidak menjatuhkan senjata dan saling mengatakan ‘Saudara Muslimku, peluklah aku’, kan? Mereka tetap membela negara mereka masing-masing. Amerika Serikat adalah negeri saya (untuk itu akan selalu saya bela), dan itulah yang diajarkan Rasulullah kepada kami," katanya.
Tapi Mansoor mengingatkan warga Muslim punya sejarah panjang di Amerika.
"Ada sebagian besar warga Amerika yang belum pernah bertemu pemeluk Islam, untuk itu saya ingin memastikan bahwa saya hadir untuk memberi tahu mereka bahwa warga Muslim Amerika telah mengabdi di Amerika sejak zaman George Washington, bahwa laki-laki dengan kulit gelap dan janggut hitam seperti saya tidak berarti seorang teroris; mereka bisa jadi Humayun Khans, (tentara Amerika yang gugur akibat bom bunuh diri kelompok teroris di Irak) yang memberikan pengorbanan besar," paparnya.
"Mereka harus melihat bahwa di antara masyarakat Amerika ada dokter, pengacara, hingga polisi yang juga beragama Islam," tambah Mansoor.
Sejalan dengan waktu meskipun Amerika mengalami perubahan dan gejolak politik, ia yakin orang Amerika secara keseluruhan tidak membenci Muslim.
"Beberapa bulan lalu, saya pergi ke kawasan Timur Tengah untuk urusan pekerjaan. Saya tengah berada di Mesir ketika CNN menayangkan berita Donald Trump. Ini gila, karena setiap orang yang mendengar berita itu akan berpikir bahwa seperti itulah Amerika," kata Mansoor.
Sayangnya, lanjut dia, seperti yang dilakukan media massa Amerika selama ini, mereka tidak menayangkan anggota Korps Marinir Muslim; seperti yang dilakukan media Amerika dan Mesir di sini.
"Menurut saya, orang Amerika tidak membenci Muslim, dan orang Islam tidak membenci Amerika," ujar Mansoor. [rd/my]