Dari kota Magelang, Jawa Tengah, Romo John Teguh Raharjo, CICM, memulai perjalanan yang membawanya ke ibu kota Washington DC. Lahir dan tumbuh menjadi dewasa di Indonesia, jalan Romo John menuju imamat membawanya jauh dari tanah kelahirannya, namun dia menyatakan teguh dengan panggilannya. Sementara dari kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Romo Stanley Jawa, SVD, juga menempuh perjalanan serupa. Dari tepi pantai Kupang, kini dia berada tidak jauh dari tepi Sungai Mississippi, di Lousiana.
Romo John Teguh Raharjo, seorang anggota ordo Kongregasi Hati Maria Tak Bernoda (Latin: Congregatio Immaculati Cordis Mariae/CICM), tiba di Amerika pada tahun 2002 sebagai frater yang berstatus mahasiswa, yang kemudian ditahbiskan sebagai imam pada tahun 2006 di dekat perbatasan AS-Meksiko di Texas. Pelayanan pastoral Romo John membawanya ke berbagai paroki, mulai dari Keuskupan Agung San Antonio, Texas, dan Keuskupan Charlotte, North Carolina hingga kini menjadi pastor Paroki Santa Anna di Arlington, Virginia, pinggiran ibu kota AS, Washington DC.
Sementara Romo Stanley Jawa, seorang pastor dari ordo Serikat Sabda Ilahi (Latin: Societas Verbi Divini/SVD), tiba di AS pada tahun 2008, dan memulai pelayanan pastoralnya di Mississippi sebelum diangkat menjadi pastor paroki di Louisiana pada tahun 2014. Panggilan pelayan di Paroki Keluarga Kudus di Lawtell dan Paroki Santa Ana di Mallet memungkinkannya untuk membenamkan diri dalam apa yang dikenal sebagai budaya “Selatan” AS yang kaya dan unik.
Jalan mereka menuju imamat di AS tergolong unik namun terkait dengan misi global ordo keagamaan masing-masing. Perjalanan Romo Stanley, tamatan dari Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero di Maumere, melibatkan lamaran untuk bertugas di berbagai negara melalui SVD, yang akhirnya membawanya ke Amerika.
“Sebelum mengikrarkan kaul kekal untuk SVD, frater-frater SVD diberi kesempatan untuk melamar bekerja di tiga negara di mana SVD bekerja di seluruh dunia. Saya mengirimkan lamaran itu, namanya Peticio Missionis, ke Roma untuk diputuskan di sana. Saya melamar tempat pertama itu ke Brazil, lalu kedua ke Spanyol, lalu ketiga ke Amerika Serikat. Itu saja. Tidak ada harapan bahwa nanti ke sini. Ternyata kemudian SVD pusat kami di Roma meminta saya untuk bekerja di Amerika Serikat.”
Perjalanan dalam karya pastoral Romo John sedikit berbeda. Dia menempuh pendidikan filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta sebelum dikirim ke AS sebagai frater untuk belajar teologi melalui ordo CICM.
“Saya dikirim ke sini oleh Tarekat CICM untuk belajar teologi. Jadi saya mengambil studi teologinya di San Antonio, Texas. Nah, setelah itu menjalani tahun pastoral, memang untuk penugasan di Amerika Serikat sini.”
Tantangan Adaptasi Linguistik dan Budaya
Romo Stanley mengaku menghadapi hambatan dalam hal bahasa. Untuk itu, sebelum memulai karya pelayanannya, dia harus menjalani pelatihan bahasa Inggris selama hampir setahun.
“Sesudah ditahbiskan di kampung halaman saya di Maumere – saya tamatan dari Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero – saya harus menunggu satu tahun untuk belajar bahasa Inggris di Divine Word College di Epworth, Iowa selama delapan bulan, dan ambil lagi summer course di Washington DC, selama tiga setengah bulan, baru kemudian menjadi pastor pembantu. Ada tantangan bahasa.”
Sementara persiapan Romo John untuk pelayanan warga Hispanik melibatkan pembelajaran bahasa Spanyol, selain bahasa Inggris.
“Kalau tantangan adaptasi budaya begitu ya pasti ada dalam perjalanan kami, apalagi pada masa-masa awal. Kebetulan kalau saya memang dari awal disiapkan untuk Hispanic ministry (pelayanan untuk warga Hispanik), jadi sejak tahun 2003 saya belajar bahasa Spanyol. Kemudian kebetulan tugas pertama di Texas Selatan itu memang umatnya sebagian besar orang-orang Hispanik. Jadi kebanyakan seperti misa, kemudian suasana di Paroki paling kurang 50-50, ya 50% Inggris, 50% Spanyol. Waktu saya tugas di North Carolina, kebetulan Parokinya juga separuh-separuh, jadi kebetulan selalu main dua bahasa. Baru kali ini, saya tugas di Paroki Santa Anna ini di Ibu Kota, orang-orang Hispanik hanya 4-5 persen. Jadi lebih banyak menggunakan bahasa Inggris sekarang.”
Selain harus dapat mengatasi kendala bahasa, kedua imam diaspora Indonesia ini juga perlu menavigasi lanskap budaya yang beragam, melayani jemaat multietnis dengan hati dan pikiran terbuka. Pengalaman mereka menjelaskan perbedaan antara komunitas Katolik di Indonesia dan Amerika. Meskipun praktik liturgi tetap bersifat universal, nuansa budaya memengaruhi ekspresi keagamaan.
Romo John menyoroti bagaimana adat istiadat dan perayaan setempat ikut membentuk pengalaman iman sesuai etnis atau, di Amerika, negara asal imigran bersangkutan.
“Misa ya tetap misa, tapi tentu pengaruh-pengaruh praktik bermasyarakat, bersosial, berbudaya, itu mempengaruhi bagaimana kita hidup beriman. Jadi mungkin ada beberapa adat-adat sosial yang agak beda. Misalnya, di sini kita ada perayaan secara kultural. Kalau di Amerika sini ada Thanksgiving, perayaan hari syukuran itu pada minggu keempat bulan November. Kalau di antara orang-orang Amerika Latin, banyak juga pengaruh perayaan-perayaan setempat yang kalau di Indonesia kita mungkin tidak kenal.”
Hampir setiap negara Latin Amerika, ujar Romo John, memiliki perayaan-perayaan lokal untuk penghormatan atau devosi pada Bunda Maria.
“Seperti pada umumnya ada Maria Guadalupe dari Mexico, kemudian orang-orang Bolivia sudah menghubungi saya mau mengadakan perayaan untuk namanya El Señor de los Milagros, Tuhan dari berbagai mujizat. Kemudian bagi orang El Salvador ada perayaan lain lagi, dari komunitas Guatemala ada perayaan lagi yang lain. Jadi, tetap ada warna-warna sosial, budaya setempat yang memengaruhi kita dalam beriman pada umumnya.”
Romo Stanley setuju. Walaupun sudah mempersiapkan diri dengan pembelajaran bahasa, dia menceritakan perjuangan awal dalam mempersiapkan khotbah berbahasa Inggris.
“Terus terang waktu pertama itu saya menyiapkan khotbah harus dengan menulis, lalu membacanya. Malah saya harus membaca sendiri di depan cermin, untuk latihan. Itu tantangan. Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, tetap butuh persiapan, tapi lalu bisa dilalui dengan baik.”
Dia menambahkan anekdot-anekdot lucu yang dialaminya, termasuk umat paroki yang salah mengira dia sebagai pastor tamu karena perawakannya.
“Pastor Paroki sebelum saya itu orang Amerika, tinggi dan besar. Nah, ketika saya masuk di paroki itu, pada perayaan ekaristi, mereka pikir pastor dari mana ini? Setelah saya memperkenalkan diri, mereka baru tahu. ‘Oh, ini romo paroki kita yang baru?’ Mereka pikir saya pastor tamu yang datang untuk misa. Saya bilang: ‘No, saya pastor paroki baru di sini. Lalu saya tanya kenapa kalian heran?’ Mereka bilang, ‘kami pikir romo ini tinggi besar, ternyata tingginya pas-pasan.’ Dan memang, saya orangnya pendek.”
Romo Stanley mengatakan, “pengalaman saya selama 15 tahun di sini, kalau soal liturgi semuanya sama, universal,’ tapi dia mengakui adanya pengaruh lokal yang kental dalam hal kehidupan menggereja.
“Pengalaman saya beberapa tahun terakhir di dua paroki di sini, lalu di paroki sebelumnya itu kalau misalnya hari-hari minggu itu musim-musim football (sepak bola ala Amerika) itu mereka sampaikan: ‘Romo, misanya diperpendek?’ Jadi, mungkin pikiran mereka itu sebagian sudah ada di TV, sebagian sudah di football, tapi mereka tetap datang ke misa. Hanya sesudah misa itu langsung, let's go home (ayo pulang).”
Romo Stanley mengatakan bahwa umat di kedua parokinya sangat disiplin dengan waktu.
“Mereka mau supaya liturgi itu dimulai tepat pada waktunya dan juga berakhir pada waktunya. Saya pernah mau coba, saya merayakan misa jam 8 pagi tetapi saya mulai jam 8 lewat 5 menit. Saya ditegur sesudah misa. Mereka bertanya:
‘Kenapa terlambat?’ Lalu minggu berikutnya saya coba buat jam 7.55. Mereka tegur lagi. Kenapa misa mulai lebih cepat?”
Terlepas dari berbagai tantangan tersebut, komitmen kedua imam dari Indonesia ini pada pelayanan dan pembelajaran terus menerus, dan keterbukaan serta pengertian pada perbedaan-perbedaan budaya memungkinkan mereka untuk berhasil dalam peran masing-masing.
Imam Internasional untuk Menutup Kekurangan Gembala Sidang
Terkait tren dalam agama Katolik di AS, baik Romo John maupun Romo Stanley mengatakan perekrutan para imam internasional seperti mereka dilakukan untuk mengatasi kekurangan di beberapa keuskupan. Kendati demikian, mereka juga mengakui bahwa di sebagian Keuskupan lainnya ada banyak pemuda setempat yang memenuhi panggilan imamat. Keduanya mencatat tren positif dalam jumlah kehadiran umat di paroki, yang mencerminkan komunitas agama yang dinamis di wilayah masing-masing.
Melayani dengan Hati dan Pikiran Terbuka
Diminta nasihat mereka, kedua Romo merefleksikan pengalaman mereka sendiri. Kepada para calon imam Katolik, atau siapa pun dengan profesi apa pun, yang ingin berkarya di ranah dengan bahasa dan budaya berbeda, termasuk Amerika, mereka menekankan keaslian apa adanya, keterbukaan pada pembelajaran, dan dedikasi pada pelayanan.
“Be yourself, menjadi diri sendiri sambil berani belajar budaya orang. Berani terbuka untuk belajar bahwa yang sedang kita kerjakan, yang menjadi misi ini bukan misi kita, tapi misi Tuhan Allah. Keterbukaan kepada sang guru Yesus Kristus Imam Agung itu penting, sambil terbuka dengan situasi budaya sekitar. Dengan demikian dua aspek ini membantu kita untuk berkembang. Saya sering memberitahu umat, ‘Let us always do our best and let God do the rest.’”
Romo John menimpalinya dengan mengatakan, “Jadi dengan semangat melayani, kalau mau melayani di sini, dan di mana pun juga, come with open heart and mind to learn and to serve (datang dengan hati dan pikiran terbuka untuk belajar dan melayani), karena belajar itu tidak pernah ada habisnya. Kita datang untuk melayani.”
Selamat Paskah bagi Umat Kristiani, Selamat Ramadan bagi Muslim
Mengakhiri bincang-bincang dengan VOA, Romo John dan Romo Stanley menyampaikan salam hangat kepada masyarakat Indonesia, dan berbagi berkah Paskah dan Ramadan yang menjembatani perbedaan agama dengan pesan persatuan dan perdamaian.
“Selamat Hari Raya Paskah untuk saudara-saudari Kristiani di Indonesia. Semoga semua merayakan hari raya Paskah dengan suka cita, dengan damai, dan kerukunan. Untuk saudara-saudari Muslim di Tanah Air, selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan. Semoga amal ibadah Anda memberikan buah yang berlimpah dalam perjalanan puasa Anda dan merayakan dengan semangat rukun, dengan semangat damai di Tanah Air.”
Romo Stanley mengatakan, “Terus terang saya punya kakek dan nenek dari pihak bapak itu Muslim, dan di Flores kami punya keluarga beragama Islam banyak sekali.” Bahkan, ujarnya, “Waktu misa perdana saya, yang membawa persembahan itu paman saya yang Muslim,” seraya menambahkan, “Untuk teman-teman di Indonesia yang berpuasa, selamat berpuasa. Semoga Tuhan memberkati Anda, dan semoga masa puasa ini menjadi masa berahmat untuk saudara-saudariku yang beragama Islam untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan mencintai sesama di mana dan kapan saja.”
Berkenaan dengan perayaan hari raya Paskah, Romo Stanley berpesan, “Selamat hari raya Paskah untuk segenap umat Kristiani di Indonesia. Semoga perayaan Paskah tahun ini membawa berkat untuk kita, supaya kita lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Kebangkitannya memberi kita rahmat untuk bangkit dari segala kesalahan, dari segala dosa kita, dan kita mampu menjadi murid-murid Kristus yang tetap berjuang dengan semangat cinta kasih dalam hidup sehari-hari. Salam ke Indonesia dari Lawtell, Mallet, Louisiana.”
Dari Magelang hingga Arlington, Virginia, dari Kupang hingga Lawtell dan Mallet, Louisiana, perjalanan Romo John dan Romo Stanley mencerminkan panggilan universal untuk melayani umat manusia dengan cinta dan belas kasih. [lt/em]
Forum