JAKARTA —
Kementerian Negara Lingkungan Hidup mengaku sampai saat ini masih sulit mengatasi kebakaran hutan karena berbagai faktor, diantaranya kendala finansial dan koordinasi dengan pemerintah daerah.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (15/4), Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup bidang Penataan Hukum Lingkungan, Sudariyono, mengatakan sudah menangkap beberapa orang pembakar hutan namun belum berhasil menangkap dalangnya.
Ia mengatakan bahwa cuaca kering tidak menyebabkan kebakaran, namun hanya mendukung terjadinya kebakaran.
“Pasti ada yang membakar, hampir 98 persen hasil investigasi kita (menunjukkan ada faktor) sengaja dibakar. Apakah memang benar dia lakukan pembukaan lahan dengan tanpa bakar, kita akan lihat transfer uangnya dari perusahaan induknya kepada kontraktornya,” ujarnya.
“Kita bisa minta PPATK untuk menelusuri apakah ada transfer uang untuk pembukaan lahan tanpa bakar, dari situ kita bisa mengatakan bahwa memang perusahaan ini tidak ada niat baik dan memang membakar, dan banyak modus-modus yang mereka kemukakan untuk mengatakan bahwa kami tidak membakar.”
Sudariyono mengatakan lembaganya akan terus berupaya melakukan kerjasama dengan berbagai pihak seperti kepolisian serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Ia menambahkan, terbatasnya anggaran negara untuk melakukan proses hukum dalam kebakaran hutan juga menjadi kendala.
“Untuk melakukan penyelidikan, untuk melakukan analisis laboratorium memerlukan anggaran yang tidak kecil, dan itu (pemerintah) daerah (merasa) agak berat. Gugatan perdata ataukah tuntutan pidana? Apakah itu pengrusakan ataukah pencemaran? Itu bisa Rp 100-200 juta per kasus, sekali masuk harus selesai sampai ke tingkat kasasi,” ujarnya.
Sudariyono mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup juga merasa kecewa terhadap pemerintah daerah karena sulit bekerjasama dalam mengatasi kebakaran hutan, padahal pihak yang paling mengetahui awal terjadinya kebakaran hutan adalah pemerintah daerah setempat.
Menanggapi pernyataan pemerintah tersebut, juru kampanye hutan, Greenpeace, Teguh Surya berpendapat dalam mengatasi kebakaran hutan termasuk hutan gambut tidak bisa dilakukan saat hutan sudah dalam kondisi terbakar. Menurutnya, dibutuhkan upaya antisipasi sejak awal agar hutan tetap terlindungi.
“Pertama, harus ada upaya mengeluarkan kebijakan perlindungan gambut secara utuh karena menurut kami ada begitu banyak celah yang bisa digunakan oleh kelompok-kelompok bisnis atau siapapun untuk menghindar dari bertanggungjawab ketika lahan gambut terbakar,” ujarnya.
“Yang kedua, tidak membenarkan pembangunan kebun baru dan HTI pada lahan gambut dan hutan alam yang tersisa. Kalau alasannya pembangunan ekonomi dan seterusnya pasti ada upaya lain, cukup sudah kerusakan itu dan itu harus diperbaiki. Yang berikutnya menurut kami perlu ada proses kaji ulang konsesi yang sudah berada di atas lahan gambut. Tanpa itu dilakukan tidak ada proses pembelajaran, termasuk yang masih dalam tahap pengajuan, tidak tertutup kemungkinan ada upaya untuk mencarikan lahan pengganti.”
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (15/4), Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup bidang Penataan Hukum Lingkungan, Sudariyono, mengatakan sudah menangkap beberapa orang pembakar hutan namun belum berhasil menangkap dalangnya.
Ia mengatakan bahwa cuaca kering tidak menyebabkan kebakaran, namun hanya mendukung terjadinya kebakaran.
“Pasti ada yang membakar, hampir 98 persen hasil investigasi kita (menunjukkan ada faktor) sengaja dibakar. Apakah memang benar dia lakukan pembukaan lahan dengan tanpa bakar, kita akan lihat transfer uangnya dari perusahaan induknya kepada kontraktornya,” ujarnya.
“Kita bisa minta PPATK untuk menelusuri apakah ada transfer uang untuk pembukaan lahan tanpa bakar, dari situ kita bisa mengatakan bahwa memang perusahaan ini tidak ada niat baik dan memang membakar, dan banyak modus-modus yang mereka kemukakan untuk mengatakan bahwa kami tidak membakar.”
Sudariyono mengatakan lembaganya akan terus berupaya melakukan kerjasama dengan berbagai pihak seperti kepolisian serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Ia menambahkan, terbatasnya anggaran negara untuk melakukan proses hukum dalam kebakaran hutan juga menjadi kendala.
“Untuk melakukan penyelidikan, untuk melakukan analisis laboratorium memerlukan anggaran yang tidak kecil, dan itu (pemerintah) daerah (merasa) agak berat. Gugatan perdata ataukah tuntutan pidana? Apakah itu pengrusakan ataukah pencemaran? Itu bisa Rp 100-200 juta per kasus, sekali masuk harus selesai sampai ke tingkat kasasi,” ujarnya.
Sudariyono mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup juga merasa kecewa terhadap pemerintah daerah karena sulit bekerjasama dalam mengatasi kebakaran hutan, padahal pihak yang paling mengetahui awal terjadinya kebakaran hutan adalah pemerintah daerah setempat.
Menanggapi pernyataan pemerintah tersebut, juru kampanye hutan, Greenpeace, Teguh Surya berpendapat dalam mengatasi kebakaran hutan termasuk hutan gambut tidak bisa dilakukan saat hutan sudah dalam kondisi terbakar. Menurutnya, dibutuhkan upaya antisipasi sejak awal agar hutan tetap terlindungi.
“Pertama, harus ada upaya mengeluarkan kebijakan perlindungan gambut secara utuh karena menurut kami ada begitu banyak celah yang bisa digunakan oleh kelompok-kelompok bisnis atau siapapun untuk menghindar dari bertanggungjawab ketika lahan gambut terbakar,” ujarnya.
“Yang kedua, tidak membenarkan pembangunan kebun baru dan HTI pada lahan gambut dan hutan alam yang tersisa. Kalau alasannya pembangunan ekonomi dan seterusnya pasti ada upaya lain, cukup sudah kerusakan itu dan itu harus diperbaiki. Yang berikutnya menurut kami perlu ada proses kaji ulang konsesi yang sudah berada di atas lahan gambut. Tanpa itu dilakukan tidak ada proses pembelajaran, termasuk yang masih dalam tahap pengajuan, tidak tertutup kemungkinan ada upaya untuk mencarikan lahan pengganti.”