Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan, terutama dalam hal mengelola sampah secara benar, terus digalakkan lewat berbagai cara. Salah satunya lewat film.
Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, film "Bude Jo Belajar Kelola Sampah" yang dikemas dengan komedi dan edukasi ini diharapkan mampu mengubah perilaku masyarakat dalam mengelola sampah.
Pasalnya, berdasarkan data di Badan Pusat Statistik (BPS), perilaku masyarakat Indonesia yang tidak peduli terhadap lingkungan hidup terutama soal sampah mencapai 72 persen.
"Agar masyarakat menjadi lebih tertarik. Semoga bisa mengikuti dan mengubah perilaku masyarakat. Film ini dikemas sampai beberapa seri dengan film-film pendek sehingga diharapkan (perilaku) masyarakat dapat berubah," kata Vivien, Rabu (28/4).
Sirkular Ekonomi
Film ini juga menargetkan agar masyarakat mampu mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Selama ini dalam mengelola sampah, masyarakat hanya menerapkan budaya kumpul, angkut, dan buang. Padahal, beberapa sampah bisa dikelola dengan benar dan dijadikan sirkular ekonomi.
"Sehingga bisa memberikan contoh yang baik pada masyarakat bahwa sampah sekarang itu pendekatannya bukan kumpul, angkut, dan buang. Tapi sampah itu menjadi sumber ekonomi," ujar Vivien.
Dalam pengelolaan sampah, kata Vivien, pemerintah melakukan tiga pendekatan yakni, mengurangi dengan melakukan pembatasan dan pengurangan sampah plastik. Lalu, sirkular ekonomi seperti peran bank sampah yang mampu menjadi sumber pendapatan. Terakhir, pendekatan teknologi seperti pembangkit listrik tenaga sampah, hingga refuse derived fuel (bahan bakar dari sampah).
Film ini juga menyajikan unsur-unsur pendekatan yang dilakukan pemerintah tersebut, salah satunya sirkular ekonomi melalui bank sampah.
"Kami ingin menyampaikan ke masyarakat pengelolaan sampah yang dikemas dengan gaya lugas dan senang di masyarakat. Semoga masyarakat dapat menerima dan mengambil contoh dan hikmah dari film ini," ucapnya.
Isu Sampah Multidimensi
Menurut Direktur Pengelolaan Sampah KLHK, Novrizal Tahar, persoalan sampah bukan masalah sepele tapi multidimensi, salah satunya terkait perilaku masyarakat. Melalui film ini, diharapkan masyarakat mampu mengubah perilaku dalam pengelolaan sampah dengan benar.
"Hal penting harus kita lakukan mendorong perubahan perilaku masyarakat. Salah satu hal penting yang harus dilakukan adalah mengedukasi, dan kampanye publik," ucapnya.
Novrizal mengatakan, dalam kurun waktu dua tahun terakhir tren pengurangan sampah di masyarakat mulai membaik. Pada tahun 2018, pengurangan sampah yang dilakukan masyarakat hanya tiga persen. Lalu, pada 2019 naik signifikan menjadi 13 persen, dan akhir tahun 2020 mencapai 16 persen. Dari sisi penanganan sampah berkisar di antara 37 persen.
"Ini menunjukkan bahwa gerakan partisipasi publik sangat kuat di Indonesia. Jadi gerakan-gerakan menyelesaikan persoalan sampah oleh publik menjadi kekuatan kita. Dengan adanya film ini akan mendorong lebih maksimal lagi. Karena kami punya target (pengurangan sampah) minimal 30 persen pada tahun 2025," katanya.
Urgensi Bank Sampah
Novrizal melanjutkan, hadirnya bank sampah juga menjadi faktor penunjang penanganan pengelolaan sampah yang baik di Indonesia. Namun, dibutuhkan peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan sistem informasi yang terintegritas.
"Pada saat ini bank sampah terintegrasi dalam sistem online. Kami berharap tentunya setiap RT/RW memiliki bank sampah unit. Mudah-mudahan ini bisa menjadi masif gerakan kultural di seluruh Indonesia sehingga setiap RT/RW, desa, kelurahan, itu memiliki bank sampah. Ini bisa menjadi solusi bagi pengelolaan sampah kita," pungkasnya.
Ecoton Nilai Pesan Film Terlalu Rumit
Sementara itu, koordinator program zero waste city dari Ecoton, Daru Setyorini mengatakan, pesan yang disampaikan film itu terlalu rumit. Film tersebut seharusnya menyampaikan secara bertahap bagaimana cara pengumpulan sampah.
"Tapi di situ tidak jelas ke mana masyarakat harus memberikan sampahnya. Memang sampah organik dikelola sendiri di perkarangan rumah dibuat kompos. Tapi sayangnya sampah daur ulang disarankan atau diarahkan ke bank sampah. Kemudian, sampah yang spesifik diarahkan ke drop box," katanya kepada VOA.
Menurut Daru, bank sampah yang ditampilkan di film tersebut memang menyampaikan pesan baik. Namun, harus diakui bahwa pada faktanya bank sampah di Indonesia tak menyasar ke pedesaan atau pelosok daerah. Lantas, pesan yang disampaikan film itu dengan hadirnya bank sampah tentu tak akan diterima oleh masyarakat pedesaan.
"Harusnya di dalam film itu ada penyediaan layanan dari pemerintah daerah (pemda) jadi masyarakat tidak harus ke bank sampah. Justru diangkut oleh pemda, misalnya dari rumah tangga itu disediakan pengumpulan sampah dari petugas yang disediakan oleh perangkat desa," ujarnya.
"Jadi tidak langsung masyarakat ke bank sampah. Sebab bank sampah itu cuma sedikit jumlahnya. Di sini (film) tidak ada peran pemerintah yang harusnya justru paling bertanggung jawab," Daru menambahkan.
Ke depannya melalui film tersebut, pemerintah dalam hal ini KLHK juga didorong untuk mempriotaskan reduce (pengurangan sampah) dan menghindari terbentuknya sampah khususnya plastik sekali pakai.
"Jadi tidak ada pesan untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai. Ya, walaupun tadi ada sedikit soal plastik kresek diganti tas kain. Tapi harus lebih dari tas kresek, saset, styrofoam, sedotan, dan popok itu terutama," pungkas Daru. [aa/em]