Tautan-tautan Akses

Koalisi Kebebasan Beragama Tolak Alih Fungsi Masjid Ahmadiyah


Penganut Ahmadiyah melaksanakan salat dzuhur berjamaah usai peringatan Isra Mi'raj di Bandung, Jawa Barat, Rabu, April 2019. (VOA/Rio Tuasikal)
Penganut Ahmadiyah melaksanakan salat dzuhur berjamaah usai peringatan Isra Mi'raj di Bandung, Jawa Barat, Rabu, April 2019. (VOA/Rio Tuasikal)

Koalisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang  terdiri dari beragam organisasi non-pemerintah menolak keputusan Bupati Sintang Jarot Winarno untuk mengalihfungsikan Masjid Miftahul Huda milik komunitas Ahmadiyah di Desa Harapan menjadi tempat tinggal atau balai pertemuan.

Pemerintah Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, telah memutuskan untuk mengubah fungsi Masjid Miftahul Huda yang merupakan rumah ibadah komunitas Ahmadiyah di Desa Harapan, menjadi tempat tinggal atau balai pertemuan.

Menanggapi perkembangan tersebut, dalam jumpa pers yang digelar Setara Institute, Jumat (28/1), Koalisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang terdiri dari beragam organisasi non-pemerintah menolak keputusan Bupati Sintang Jarot Winarno itu.

Subhi Azhari, Direktur Eksekutif Inklusif, menegaskan, keputusan alihfungsi terhadap masjid Ahmadiyah itu melanggar undang-undang. "Undang-undang Nomor 28/2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 36/2005 sama sekali tidak mengatur tentang alih fungsi atau modifikasi terhadap bangunan-bangunan yang dikategorikan misalnya belum memiliki izin," Subhi.

Malah, lanjut Subhi pemerintah daerah diberi mandat untuk memberi ruang kepada pemilik tempat ibadah untuk mendapatkan izin pembangunan.

Dia menambahkan berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat memberikan mandat kepada pemerintah daerah untuk memberikan solusi bagi rumah ibadah yang belum berizin.

Karena itu, Subhi menekankan, pemerintah daerah tidak berwenang mengubah fungsi rumah ibadah menjadi tempat tinggal.

Dia menilai surat keputusan Bupati Sintang Jarot Winarno akan membuat komunitas Ahmadiyah yang bersikukuh untuk beribadah di sana menjadi sasaran serangan karena dianggap melanggar fungsi bangunan.

Menurut Subhi, kejadian di Sintang itu akan menjadi contoh bagi daerah-daerah lainnya untuk menerapkan aturan serupa jika ada rumah ibadah yang menjadi sengketa.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YBHI) Zainal Arifin mengatakan perusakan Masjid Miftahul Huda milik komunitas Ahmadiyah itu tidak lepas dari peran pemerintah daerah, termasuk pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, yang menerbitkan surat edaran kepada semua pemerintah daerah di provinsi itu pada 17 September 2021.

"Isinya seruan kepada kepala daerah untuk memantau aktivitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Bahkan juga memberikan arahan kepada Bupati Sintang (Jarot Winarno) untuk menghentikan segala aktivitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia yang ada di Kabupaten Sintang," kata Zainal.

Karena itulah, lanjutnya, Bupati Jarot merasa mendapat arahan dan dukungan dari pemerintah provinsi Kalimantan Barat untuk menindak komunitas Ahmadiyah di wilayahnya. Sokongan itulah membuat Bupati Jarot menerbitkan surat peringatan terkait pembongkaran Masjid Miftahul Huda.

Zainal menilai surat edaran pemerintah provinsi Kalimantan Barat tersebut bisa menjadi dasar bagi semua pemerintah kabupaten atau kota di sana untuk mengeluarkan kebijakan diskriminatif terhadap komunitas Ahmadiyah di daerah mereka masing-masing.

Dia menegaskan surat edarah itu juga melanggar konstitusi karena melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi semua warga negara Indonesia.

Ketua Komite Hukum Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Fitria Sumarni menjelaskan bahwa tanggal 21 Januari lalu menjadi batas waktu yang ditetapkan oleh Bupati Sintang Jarot Winarno kepada komunitas Ahmadiyah di Desa Harapan untuk membongkar sendiri masjis itu, atau jika lewat batas waktu, maka pemerintah Kabupaten Sintang yang akan membongkarnya.

"Memang tidak mungkin bagi komunitas muslim Ahmadiyah untuk membongkar sendiri masjidnya. Masjid yang telah dibangun secara swadaya, masjid yang telah diimpikan selama bertahun-tahun, tidak mungkin dibongkar sendiri. Rasanya berat juga untuk melihat pemerintah kabupten (Sintang) melakukan pembongkaran," kata Fitria.

Menurur Fitria, menjelang batas waktu 21 Januari itu, pengurus JAI Sintang memutuskan untuk mengungsikan perempuan dan anak-anak ke tempat yang aman agar mereka tidak melihat pembongkaran yang akan dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sintang sehingga tidak mengalami trauma.

Fitria menambahkan, dalam audiensi dengan Bupati Sintang Jarot Winarno pada 18 Januari, pengurus JAI Sintang meminta agar Masjid Miftahul Huda tidak dibongkar.

Mereka juga minta waktu untuk mengurus izin kalau memang hal itu dipersoalkan. Pada kesempatan ini pengurus JAI Sintang memberitahu keberadaan Masjid Miftahul sudah mendapat persetujuan warga karena sudah 77 orang warga Desa Harapan memberikan tanda tangan.

Pada audiensi tersebut, Bupati Jarot menawarkan dua pilihan yakni Pemerintah Kabupaten Sintang akan membeli tanah dan bangunan Masjid Miftahul Huda yang berdiri sejak 2007 dengan harga standar pemerintah atau masjid dialihkan fungsinya menjadi tempat tinggal atau balai pertemuan.

Juru Bicara Wakil Presiden Masduki Badlowi mengatakan perbedaan pendapat dan pandangan agama harus diselesaikan melalui dialog dan tidak disikapi dengan kekerasan. [fw/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG