Kasus kekerasan di lingkungan sekolah kerap kali terjadi. Baik guru maupun siswa, bisa menjadi korban. Kode etik diperlukan untuk mengurangi tindakan yang bisa berujung ke pengadilan.
Bulan Februari lalu, seorang guru di Madura meninggal dunia karena dipukul oleh siswanya. Sementara di Purwokerto, Jawa Tengah, seorang guru ditetapkan menjadi tersangka kasus kekerasan tanggal 21 April 2018 lalu, setelah menampar sembilan siswanya. Proses penamparan itu terekam dan tersebar luas di media sosial. Sang guru berkilah, tamparan itu diperlukan untuk mendidik kedisiplinan siswa. Dua peristiwa itu hanya contoh kasus, tentang bagaimana persoalan yang dihadapi guru dan sekolah, terkait disiplin dan kekerasan.
Menjadi guru memang tidak mudah. Handayani, seorang guru SMA di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta mengaku sering sakit hati menghadapi siswa yang tidak disiplin di sekolah. Siswa kadang menyepelekan guru, tetapi di sisi lain guru wajib bertindak terukur agar tidak dianggap melanggar hukum. “Saya cerita saja di depan mereka, bagaimana perasaan saya sebagai guru yang disepelekan siswa-siswanya di kelas. Semoga mereka sadar. Prinsip saya semaksimal mungkin tanpa kekerasan,” ujar Handayani.
Terkait kasus di Purwokerto, Handayani menyebut tindakan guru itu sebagai hal yang benar tetapi tidak pada tempatnya. Dalam kasus semacam itu, sebaiknya guru membuat surat peringatan. Jika tidak berdampak, orang tua siswa bisa dipanggil dan diajak berdiskusi. Tindakan terakhir, siswa dapat dikembalikan ke orang tua mereka. “Memang jika guru tidak tegas, kita tidak dihargai oleh siswa, terutama di depan siswa-siswa yang kenakalannnya di atas rata-rata,” tambah Handayani.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhajir Effendi ketika menjadi pembicara kunci dalam seminar “Profesionalisme Guru Abad 21” di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sabtu (28/4) sempat menyinggung persoalan itu. Muhajir mengaku prihatin, hampir setiap insiden di sekolah, muaranya adalah penindakan hukum oleh aparat berwenang. Padahal, lanjut Muhajir, sebagai sebuah profesi, tindakan guru seharusnya dinilai secara etik terlebih dahulu.
Sebuah Dewan Etik diperlukan, dan karena itu kode etik yang berlaku nasional akan disusun segera. Dewan Etik yang terdiri dari para guru, bekerja terlebih dahulu sebelum penegak hukum.
“Kode etik ini sangat penting. Saya minta bantuan dari berbagai universitas Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) termasuk Universitas Negeri Yogyakarta untuk memberikan masukan, mungkin tahun depan kalau bisa kita sudah punya pedoman baku kode etik guru. Selama ini memang sudah ada , tetapi masih sporadis, belum terumus dengan baik dan belum menjadi kesepakatan,” kata Muhajir.
Kode etik ini berlaku nasional, baik bagi guru yang sudah bersertifikasi maupun belum. Bukan hanya itu, kode etik juga berlaku untuk mereka yang bukan guru tetapi menjalankan fungsi sama, misalnya professional di bidang lain yang mengajar di kelas.
Menurut Muhajir, kode etik juga berlaku di profesi lain seperti tentara, dokter dan jurnalis. Kode etik ini menerapkan penanganan internal terlebih dahulu, sebelum tindakan dari pihak luar. Langkah ini, menjadi bagian dari sejumlah kebijakan terkait guru untuk meningkatkan profesionalitas mereka.
“Sekarang ini kita tata asosiasi profesinya,menghidupkan kembali Musyawarah Guru Mata Pelajaran, Musyawarah Kerja Kepala Sekolah, dan Kelompok Kerja Guru, nanti juga ada Asosiasi Guru Konselor, dan asosiasi guru lain, yang secara kelembagaan akan melakukan fungsi pembinaan profesi guru,” tambah Muhajir.
Rektor UNY, Sutrisna Wibawa mendukung penuh rencana Mendikbud, Muhajir Effendi. “Kode etik itu salah menjadi satu bagian dari persyaratan professional. Memang organisasi profesi harus punya kode etik. Sebenarnya Persatuan Guru RI sudah punya kode etik, tetapi terlalu luas, kurang fokus,” paparnya.
Sutrisna menambahkan, melihat kasus terakhir yaitu penamparan siswa oleh guru di Purwokerto, satu sudut pandang saja tidak bisa menyelesaikan masalah.
“Saya kira tidak hanya guru ditampar, tetapi juga guru menampar, dua-duanya akan diatur dalam kode etik profesi. Seperti tadi,kalau misalnya guru itu menampar dalam rangka mendidik,harusnya bukan ditindak oleh polisi tetapi oleh profesi, artinya dia ditindak dengan kode etik,” imbuhnya.
Dalam seminar di Yogyakarta ini, Mendikbud juga menunjukkan data, bahwa dana pendidikan yang mencapai 20 persen APBN, atau sekitar Rp. 440,9 triliun, hampir separuh habis untuk membayar gaji dan tunjangan. Indonesia memiliki 3,01 juta guru, dengan guru bersertifikasi di sekolah negeri dan swasta mencapai 1,34 juta orang. Setiap tahun, pemerintah membutuhkan Rp 153 triliun untuk gaji dan Rp 72 triliun untuk tunjangan. [ns/ii]