Filosofi kuliner Chef Francois Pasteau disajikan dengan sup wortel-jahenya yang berwarna kuning keemasan.
Di restorannya, L'Epi Dupin di tengah kota Paris, wortel yang digunakan diambil dari pinggiran kota. Wortel-wortel tersebut sudah dicuci, tapi tidak dikupas. Supnya disajikan dengan krim kocok yang diwarnai hijau muda dan wortel yang dihaluskan.
"Tidak ada yang dibuang sedikitpun," ujarnya.
Satu-satunya bahan yang tidak ia dapatkan secara lokal adalah jahe segar, tapi ia tetap harus menggunakannya. Jahe adalah kunci rasa sup itu.
"Anda harus berhati-hati untuk cita rasa," tambahnya.
Sementara ibukota gastronomi menjadi tuan rumah KTT Iklim PBB, Pasteau ingin menunjukkan bahwa orang-orang bisa makan makanan yang lezat dan masih bisa membantu menjaga iklim.
Memimpin perubahan pola konsumsi
Makanan yang kita makan, termasuk lahan yang dibuka untuk memproduksinya, menyumbang seperlima atau lebih emisi rumah kaca di seluruh dunia, menurut PBB.
Pemeliharaan ternak adalah sumber terbesar jejak karbon pertanian, padahal orang-orang di seluruh dunia menerapkan pola makan yang banyak mengandung daging seperti di Amerika dan Eropa.
Penting untuk "mengubah konsumsi negara-negara yang mempengaruhi evolusi seluruh dunia," kata ahli iklim dan pertanian Alexandre Meybeck dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB.
Pasteau ingin kuliner Perancis menjadi membuka jalan ke arah itu.
Sebelum perundingan iklim di Paris, ia membentuk Good for the Climate Association, mengajak 50 restoran agar menawarkan menu yang menyajikan sayur-sayuran lokal dan musiman, dan lebih sedikit daging.
Hasil bumi lokal dan yang sedang musim kualitasnya lebih baik dan mengandung lebih banyak gizi, kata Pasteau, dan karena dekat, emisi gas rumah kaca untuk membawa hasil bumi lokal ke pasar lebih sedikit.
Pasteau menekankan bahwa metodenya bukan tentang menghapus sama sekali bahan-bahan tertentu dari makanan yang disajikan.
"Bukan dihukum (karena) berlaku baik terhadap iklim," ujarnya. "Kita menikmati makanan karena daging yang disajikan enak, tidak terlalu banyak, tapi dari bagian yang bagus, dan sangat enak."
Pada acara sampingan konferensi iklim, Menteri Lingkungan Perancis Segolene Royal memberikan penghargaan pada Pasteau untuk upayanya menunjukkan bahwa makanan yang lezat juga bisa baik untuk iklim.
Tidak ada cara makan yang paling baik
Meybeck mengatakan kehadiran chef yang mau memimpin perubahan menu makan sangat penting.
"Salah satu hal yang paling sulit dilakukan adalah mengganti perilaku konsumsi," ujarnya. "Cara terburuk, menurut saya, adalah mengatakan, 'Anda tidak boleh melakukan ini.' Tapi menghargai cara makan lain, bagi saya, adalah salah satu cara terbaik (untuk mengganti perilaku konsumsi)."
Meybeck memperingatkan tidak ada cara makan yang terbaik. Semuanya tergantung dari di mana seseorang berada dan dari mana makanannya berasal. Walaupun orang Barat cenderung makan terlalu banyak daging, tapi tidak demikian di sebagian besar negara-negara berkembang, ujarnya.
Contohnya, kekurangan zat besi adalah masalah gizi paling umum di dunia.
"Cara paling mudah mengatasinya adalah dengan makan daging. Tidak perlu melarang makan daging," ujarnya.
Ayam menghasilkan jejak karbon lebih kecil daripada daging sapi.
Konsumsi ayam meningkat di Timur Tengah, kata Meybeck, tapi ia menambahkan, "Masalah dengan ayam adalah mereka tidak kuat gelombang panas."
Saat suhu meningkat, ayam mungkin butuh pendingin ruangan. Dan itu akan meningkatkan jejak karbonnya.
Karena menu makan Barat yang berlebihan menyebar ke seluruh dunia, Meybeck mengatakan intinya adalah mengenali makanan yang kita makan.
"Ini adalah tentang menemukan kembali pentingnya makanan," ujarnya. "Orang-orang yang menghabiskan 70 persen penghasilannya untuk makanan tidak kehilangan logika ini. Tapi kita sudah." [dw]