Berakhirnya Orde Baru membawa napas segar dalam kebebasan berekspresi di Indonesia, termasuk kebebasan para insan seni untuk menyampaikan kritik melalui karya mereka, begitu juga dalam bidang seni lawak. Selama satu dekade terakhir, seni komedi tunggal, atau populer dengan sebutan stand-up comedy, hadir sebagai alternatif hiburan yang tak jarang mengandung edukasi serta kritik sosial hingga politik. Fenomena me-roasting pejabat hingga candaan penuh sindiran nyatanya dinikmati oleh masyarakat. Tapi apakah komedi sebagai medium kritik ini lantas lepas dari risiko intimidasi? Apakah ada batasannya?
Sejak reformasi, kebebasan berekspresi semakin terjamin di Indonesia, termasuk kebebasan menyampaikan kritik sosial maupun politik. Hal itu juga tergambar di ranah komedi, di mana semakin banyak komedian memainkan materi humor yang sarat kritik dan sindiran.
Meski demikian, secara historis, komedi sebagai medium kritik sudah dimulai jauh sebelum era reformasi, dari karikatur ‘Oom Pasikom’ karya mendiang Gerardus Mayela Sudarta, lawakan mendiang Jojon tentang Soeharto dan uang gopek bergambar monyet hampir tiga dekade lalu, hingga celetukan pedas Warkop lewat frekuensi radio pada masa Orde Baru.
Walaupun diwarnai intimidasi, pemanfaatan komedi sebagai medium kritik disebut peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3), Ulwan Fakhri, masih efektif hingga sekarang. Contohnya ketika warga Lampung bernama Ummu Hani pada tahun lalu membagikan foto-fotonya berkubang di lubang-lubang jalan yang rusak di Tanjung Bintang, Lampung Selatan, sebagai sindiran terhadap pemerintah yang tak kunjung melakukan perbaikan. Meski dituduh mencari sensasi, pada akhirnya pihak berwenang mendengar kritiknya dan memperbaiki jalan tersebut.
Dalam wawancara dengan VOA Indonesia awal Juni lalu, Ulwan mengatakan, “Humor menyelamatkan nyawa banyak orang ketika ingin bersuara dengan keras, dengan konsep yang mudah dipahami, dengan hal yang menyenangkan, menghibur, bisa diterima oleh publik, orang-orang mau terlibat, dan diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan.”
Stand-Up Comedy Buat Beraspirasi
Satu dekade terakhir, candaan kritis itu tumbuh semakin subur dalam format stand-up comedy alias komedi tunggal. Ia hadir ke ruang-ruang publik melalui ajang di televisi, segmen hiburan program bincang-bincang politik, hingga penampilan komunitas komika lokal dari kafe ke kafe.
Ulwan menilai subjektivitas materi humor dalam stand-up comedy terasa dekat dengan penikmatnya sehingga menjadikannya wadah yang pas untuk beraspirasi.
“Mereka ini bisa membawakan perspektif individu, subjektivitasnya, di atas panggung, yang mungkin tetap ditulis dalam skrip, tapi rasa-rasanya kok jujur banget, menurut saya sebagai audiens. Seakan-akan kayak cerita ke teman-temannya,” ungkap Ulwan, yang juga menjabat kepala edukasi komedi tunggal di perusahaan komedi COMIKA.
Subjektivitas itu yang digunakan komika perempuan yang juga seorang interpreter, Sakdiyah Ma’ruf dalam meramu materi komedi tunggalnya. Ia menggabungkan pengalaman pribadinya dengan hasil observasi, sebelum direfleksikan pada fenomena yang ada di masyarakat.
Dalam salah satu penampilannya beberapa tahun lalu, Sakdiyah mengangkat pengalamannya sebagai seorang perempuan Indonesia berdarah Arab yang dibesarkan di tengah komunitas keturunan Arab di Jawa Tengah. Ia mengatakan bahwa titel komedian tunggal perempuan Muslim pertama di Indonesia yang kerap dilekatkan padanya bukanlah sebuah pencapaian, karena semestinya ia tidak menjadi seorang komika seperti sekarang, melainkan menjadi istri salah satu sepupu jauhnya sejak 15 tahun lalu, ketika usianya masih 19 tahun. Kelakar sarat kritik sosial itu disambut tawa penonton.
Sakdiyah pun lantas menjadi satu dari 100 perempuan menginspirasi dan berpengaruh di dunia versi BBC tahun 2018 berkat kiprahnya sebagai komika, yang menggunakan komedi sebagai platform perlawanan terhadap ekstremisme Islam dan kekerasan terhadap perempuan. Sebelum itu, ia juga dianugrahi penghargaan Václav Havel International Prize for Creative Dissent oleh LSM hak asasi manusia asal Amerika, Human Rights Foundation, di Oslo Freedom Forum tahun 2015 berkat aktivismenya melalui seni melawak.
Ketika ditanya dalam diskusi VOA pada podcast In Case You Missed It apakah ia memiliki batasan dalam berkomedi, satu hal yang pasti baginya: materi open mic tidak boleh ngawur.
“Batasan itu sesederhana kita nggak bicara hal-hal yang kita nggak tahu. Dan hal-hal yang kita nggak tahu itu bukan berarti seperti netizen sekarang ini, ‘halah, kamu komedian nggak usah ngomong politik,’ gitu. Hal-hal yang kita nggak tahu itu adalah hal-hal yang kita nggak punya referensi, nggak punya data, nggak punya fakta, nggak punya observasi terhadap hal tersebut, nggak punya opini terhadap hal tersebut,” jelasnya.
Kritik-kritik yang disampaikan Sakdiyah melalui komedinya tak selalu diterima dengan baik oleh penonton. Ia pernah mengalami intimidasi, baik secara online maupun offline, dalam bentuk serangan verbal maupun fisik. Namun demikian, ia tidak gentar. Ia enggan menyensor komedinya hanya karena intimidasi.
“Self-censorship itu secara pribadi menyakitkan, karena kita menyangkal diri kita sendiri, kita menyangkal suara hati kita. Udah capek-capek ketemu suara hatinya, ini yang mau disuarakan, kok kita sangkal sendiri,” ungkapnya.
Penyensoran Komedi
Self-censorship alias penyensoran diri disebut peneliti humor Ulwan Fakhri merupakan hal yang awam dalam industri komedi di tanah air. Sebagian komedian melakukannya untuk menjaga imej atau merek dagang mereka yang memang ingin dikenal sebagai komedian “yang senang-senang” saja. Dalam catatannya, komedian dengan imej tersebut biasanya mengurangi pemilihan topik humor yang sensitif di mata masyarakat.
Di sisi lain, ia juga mengamati berkembangnya fenomena komedian tunggal yang justru berani mengangkat isu-isu kritis saat tampil di atas panggung. Mereka disebutnya tidak menggantungkan karir mereka pada media arus utama seperti televisi, yang terikat dengan Undang-undang Penyiaran dan proses penyensoran.
Ulwan berpendapat, setidaknya ada tiga cara yang bisa dilakukan komedian untuk tetap dapat menyampaikan materi kritis dengan aman di ruang publik. Pertama, jangan sebut nama individu, institusi ataupun merek yang sedang dijadikan objek humor secara langsung; buat nama pelesetannya. Kedua, pastikan materi itu didasarkan pada fakta dan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Ketiga, gunakan majas atau gaya bahasa tertentu dalam menyampaikan materi humor kritis tersebut.
“Seni berkomedi itu sebenarnya seni berbahasa, seni berkomunikasi, jadi akan ada banyak sekali teknik-teknik berkomunikasi yang relevan untuk dipakai sebagai ‘senjata’ komika berkomedi, baik untuk menciptakan kelucuan maupun menghindari terjangan netizen, somasi, dan sebagainya,” jelasnya.
Meski demikian, memitigasi serangan balik penonton tidak menjadi semakin mudah belakangan ini, kata komedian Abdel Achrian, yang populer berkat program televisi bertema agama dengan balutan humor Mamah dan Aa. Menurutnya, di era keterbukaan seperti sekarang, komedian justru harus lebih berhati-hati.
“Karena kayak dua sisi mata uang, pada saat kita bebas ngomong di masa reformasi ini, ya orang juga bebas menanggapi. Kebebasan kita dibarengi dengan kebebasan orang lain,” ujarnya.
“Misal, kalau kita mengkritik pemerintah, mungkin sosok yang dikritik, apakah presiden atau menteri, mereka fine-fine aja. Tapi pendukungnya? (Mereka) yang kadang-kadang malah merasa harus membela idolanya,” ungkap Abdel.
Abdel mengatakan, komedian harus memiliki kepekaan untuk menilai pantas-tidaknya materi humor yang ingin ditampilkan, terlebih ketika menyinggung topik sensitif atau mengandung unsur kritik.
Ia sendiri mengaku bahwa dirinya lebih suka membawakan materi yang lebih ringan. “Ada orang yang menggunakan komedi sebagai kritik. Kalau saya sih menggunakan komedi sebagai hiburan saja,” katanya.
Apa lagi, Abdel menganggap mereka yang menjadi target kritikan sendiri belum tentu menyimak sindiran para komedian. “Yang demo berjilid-jilid di depan DPR aja nggak didengar, apalagi yang bercanda-bercanda,” keluhnya.
Tapi peneliti humor Ulwan Fakhri percaya, komedi akan selalu menjadi kanal aspirasi yang bisa diandalkan siapa saja. Ia pun mengutip filsuf humor Indonesia, mendiang Arwah Setiawan, bahwa, “humor adalah pilar ketahanan nasional.”
“Daripada menyampaikan aspirasi dengan huru-hara, mungkin dengan merusak properti, apalagi pukul-pukulan di atas panggung dengan menampar begitu, sebenarnya jauh lebih aman dengan merespons humor,” kata Ulwan. “Jadi memang lebih baik humor saat ini dimanfaatkan sebagai alat untuk beraspirasi, suka maupun nggak suka dengan isunya, sehingga harapannya diskusinya lebih cair, lebih dingin, bisa berlanjut.” [rd/em]
Forum