JAKARTA —
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Komite Aksi Perempuan melakukan survei tentang pelanggaran yang terjadi terhadap buruh perempuan baik formal maupun informal.
Lembaga Swadaya Masyarakat tersebut diantaranya Trade Union Rights Center, Solidaritas Perempuan, Kalyanamitra dan Perempuan Mahardhika.
Survei dilakukan di 24 perusahaan yaitu perusahaan garmen, furniture, perkebunan, pengalengan ikan, tekstil, sepatu, keramik, perhotelan dan pengolahan makanan.
Juru Bicara Komite Aksi Perempuan Dina Ardiyanti, Senin (21/4) di Jakarta mengatakan posisi buruh perempuan semakin lemah akibat adanya penerapan sistem kerja kontrak di perusahaan-perusahaan.
Akibat statusnya itu kata Dina, mereka rentan mengalami berbagai persoalan pelanggaran hak seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak tanpa alasan yang jelas, upah rendah, lembur paksa yang tidak dibayar, larangan kebebasan berserikat, kondisi dan fasilitas kerja yang buruk.
Lebih lanjut Dina menjelaskan di sektor formal, rata-rata pelanggaran masih banyak terjadi pada hak untuk mendapatkan cuti haid, hak atas fasilitas yang aman untuk pekerja perempuan yang bekerja pada shift malam, tidak adanya pojok ASI (Air Susu Ibu), cuti hamil yang belum dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku dan pelecehan seksual di lingkungan kerja.
Selain itu tambanya jaminan kesehatan dan keamanan kerja buruh perempuan terutama di sektor pengalengan ikan, perkebunan dan sektor yang menggunakan zat kimia sebagai salah satu bahan produk juga masih minim.
Sementara untuk sektor informal yaitu pekerja rumah tangga, perlindungan terhadap mereka juga tidak maksimal. Dari kasus kekerasan fisik yang diadukan ke aparat penegak hukum lanjutnya 75 persen berhenti di kepolisian . Ini disebabkan perspektif aparat kepolisian untuk melindungi PRT sangat minim.
"Dari beberapa potret kasusnya mirip satu sama lain. Haid, melahirkan, keamanan, keselamatan kerja masih sangat minim, hanya perusahaan-perusahaan besar yang melakukan itu dan ada serikat pekerja yang memperjuangkan," kata Dina Ardiyanti.
Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik Jumisih mengatakan buruh perempuan di Indonesia hingga saat ini masih terus mendapatkan diskriminasi dan rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja.
Dia menjelaskan buruh perempuan rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual karena buruh perempuan masih dianggap kelas no.2 dalam industri sehingga kerap diperlakukan tidak nyaman oleh atasan-atasannya.
Berdasarkan survei yang dilakukan lembaganya di basis-basis pabrik lanjut Jumisih hampir semua buruh perempuan pernah mengalami pelecehan seksual. Selain itu gaji buruh perempuan menurut Jumisih juga lebih rendah dibanding buruh laki-laki. Kesenjangan upah antar gender sebanyak 17-22 persen. Hal ini tambahnya harus segera diselesaikan.
"Semua perempuan buruh pernah mengalami kekerasan seksual di tempat kerja, entah dilakukan oleh atasan, personalia. Ada buruh perempuan yah mereka sampai dibopong-bopong oleh atasannya di bawa ke ruang tertentu dicium-ciumi membuat buruh perempuan tidak nyaman, itu terjadi. Ada buruh perempuan yang dia sampai melakban bajunya karena saking seringnya terjadi pelecehan seksual. Buruh perempuan. Buruh perempuan masuk ke WC diikuti," kata Jumisih.
Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan pemerintah akan terus berupaya melindungi para buruh dengan kebijakan yang ada. Persoalan-persoalan antara buruh dan perusahaan dapat termasuk persoalan upah buruh
"Semua harus mengacu pada survei Dewan Pengupahan jadi tuntutan berapapun boleh tetapi tolong mari kita selesaikan di Dewan Pengupahan jangan hanya berdasarkan harapan-harapan yang ujungnya perusahaan tidak mampu," kata Muhaimin Iskandar.
Lembaga Swadaya Masyarakat tersebut diantaranya Trade Union Rights Center, Solidaritas Perempuan, Kalyanamitra dan Perempuan Mahardhika.
Survei dilakukan di 24 perusahaan yaitu perusahaan garmen, furniture, perkebunan, pengalengan ikan, tekstil, sepatu, keramik, perhotelan dan pengolahan makanan.
Juru Bicara Komite Aksi Perempuan Dina Ardiyanti, Senin (21/4) di Jakarta mengatakan posisi buruh perempuan semakin lemah akibat adanya penerapan sistem kerja kontrak di perusahaan-perusahaan.
Akibat statusnya itu kata Dina, mereka rentan mengalami berbagai persoalan pelanggaran hak seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak tanpa alasan yang jelas, upah rendah, lembur paksa yang tidak dibayar, larangan kebebasan berserikat, kondisi dan fasilitas kerja yang buruk.
Lebih lanjut Dina menjelaskan di sektor formal, rata-rata pelanggaran masih banyak terjadi pada hak untuk mendapatkan cuti haid, hak atas fasilitas yang aman untuk pekerja perempuan yang bekerja pada shift malam, tidak adanya pojok ASI (Air Susu Ibu), cuti hamil yang belum dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku dan pelecehan seksual di lingkungan kerja.
Selain itu tambanya jaminan kesehatan dan keamanan kerja buruh perempuan terutama di sektor pengalengan ikan, perkebunan dan sektor yang menggunakan zat kimia sebagai salah satu bahan produk juga masih minim.
Sementara untuk sektor informal yaitu pekerja rumah tangga, perlindungan terhadap mereka juga tidak maksimal. Dari kasus kekerasan fisik yang diadukan ke aparat penegak hukum lanjutnya 75 persen berhenti di kepolisian . Ini disebabkan perspektif aparat kepolisian untuk melindungi PRT sangat minim.
"Dari beberapa potret kasusnya mirip satu sama lain. Haid, melahirkan, keamanan, keselamatan kerja masih sangat minim, hanya perusahaan-perusahaan besar yang melakukan itu dan ada serikat pekerja yang memperjuangkan," kata Dina Ardiyanti.
Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik Jumisih mengatakan buruh perempuan di Indonesia hingga saat ini masih terus mendapatkan diskriminasi dan rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja.
Dia menjelaskan buruh perempuan rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual karena buruh perempuan masih dianggap kelas no.2 dalam industri sehingga kerap diperlakukan tidak nyaman oleh atasan-atasannya.
Berdasarkan survei yang dilakukan lembaganya di basis-basis pabrik lanjut Jumisih hampir semua buruh perempuan pernah mengalami pelecehan seksual. Selain itu gaji buruh perempuan menurut Jumisih juga lebih rendah dibanding buruh laki-laki. Kesenjangan upah antar gender sebanyak 17-22 persen. Hal ini tambahnya harus segera diselesaikan.
"Semua perempuan buruh pernah mengalami kekerasan seksual di tempat kerja, entah dilakukan oleh atasan, personalia. Ada buruh perempuan yah mereka sampai dibopong-bopong oleh atasannya di bawa ke ruang tertentu dicium-ciumi membuat buruh perempuan tidak nyaman, itu terjadi. Ada buruh perempuan yang dia sampai melakban bajunya karena saking seringnya terjadi pelecehan seksual. Buruh perempuan. Buruh perempuan masuk ke WC diikuti," kata Jumisih.
Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan pemerintah akan terus berupaya melindungi para buruh dengan kebijakan yang ada. Persoalan-persoalan antara buruh dan perusahaan dapat termasuk persoalan upah buruh
"Semua harus mengacu pada survei Dewan Pengupahan jadi tuntutan berapapun boleh tetapi tolong mari kita selesaikan di Dewan Pengupahan jangan hanya berdasarkan harapan-harapan yang ujungnya perusahaan tidak mampu," kata Muhaimin Iskandar.