JAKARTA —
Sejumlah aktivis hak asasi manusia mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kejaksaan Agung untuk meminta keterangan dari mantan kepala staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen (purnawirawan) Kivlan Zen mengenai 13 aktivis korban penculikan 1997-1998 yang hingga kini masih hilang.
Para aktivis dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat pegiat hak asasi manusia yang tergabung dalam Koalisi Gerakan Melawan Lupa itu mengatakan, Rabu (6/5), bahwa kesaksian Kivlan bisa menjadi alat bukti dalam pengungkapan kasus penculikan aktivis.
Menanggapi hal itu, Komisioner Komnas HAM Nurkholis mengatakan bahwa lembaganya telah menganggap penyelidikan terkait kasus penculikan aktivis pada masa transisi Orde Baru ke masa reformasi itu sudah selesai. Saat ini, menurutnya, kewenangan penyidikan ada di tangan pihak Kejaksaan Agung.
“Penyelidikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu itu kan ada tujuh kasus. Nah dari beberapa tahun terakhir ini kan sebenarnya Komnas HAM selalu mengatakan bahwa mohon ditindaklanjuti saja itu hasil penyelidikan yang sudah selesai dilakukan oleh Komnas HAM. Ditingkatkan penyidikannya oleh Jaksa Agung,” ujarnya.
“Tetapi Jaksa Agung lebih memilih menggantungkan status penyidikan itu tanpa arah yang jelas. Oleh karena itu menurut saya, apapun yang disampaikan oleh orang ataupun aparatur negara bisa menjadi bahan yang kuat untuk proses penyidikan. Bagi Komnas HAM itu pekerjaan penyelidikan itu sudah selesai ya.”
Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung harus serius menuntaskan kasus penculikan aktivis ini karena sudah sedemikian lama kasus ini belum juga melalui proses hukum.
“Penting hari ini bagi Kejaksaan Agung dan juga Komnas HAM untuk mengambil satu solusi. Jadi konyol sekali dua institusi ini jika berdebat soal administrasi proses hukum tapi mengabaikan keadilan bagi para korban. Kalau sampai detik hari ini dan nanti sampai proses pemilu kedua institusi ini tidak melakukan apapun, maka kita patut katakan Komnas HAM dan Kejagung adalah bagian dari kejahatan penghilangan orang secara paksa,” ujarnya.
Sebelumnya kepada sejumlah media, Mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (purn) Kivlan Zen mengaku tahu persis peristiwa penculikan aktivis 1998. Kivlan bahkan mengaku mengetahui nasib 13 orang aktivis yang hingga saat ini belum kembali.
Dari para aktivis pro-demokrasi diculik pada 1997-1998, sembilan diantaranya telah dibebaskan setelah disiksa, sementara 13 orang lainnya hingga kini tak tentu rimbanya.
Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk Tentara Nasional Indonesia untuk menyelidiki kasus itu berakhir dengan pemecatan Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang dianggap mengetahui persis operasi penculikan yang dilakukan oleh anggota Kopassus yang tergabung dalam Tim Mawar.
Ketua SETARA Institute Hendardi meminta Prabowo, yang berambisi mencalonkan diri menjadi presiden dari Partai Gerindra, agar mengklarifikasi kasus penculikan tersebut dengan bersedia memberi keterangan kepada Komnas HAM dan Kejagung.
“Kesediaan Prabowo untuk dimintai klarifikasi itu juga mesti ditindaklanjuti. Saya kira ini wewenang dari Komnas HAM dan Kejagung untuk menjemput bola. Kedua institusi ini tidak boleh melihat hukum secara defensif,” ujarnya.
Mugiyanto, salah seorang korban penculikan, mengatakan Prabowo jelas terlibat dan harus bertanggung jawab atas kasus penculikan aktivis yang ia nilai di luar batas kemanusiaan.
“Prabowo mengatakan bahwa dia menculik atau mengamankan sembilan orang, salah satunya adalah saya. Menurut saya ini sudah melawan akal sehat dan akal kemanusiaan. Prabowo yang waktu itu membawahi Kopassus dan Tim Mawar itu tidak mengamankan kami. Prabowo menginterogasi dan menyiksa kami sampai di luar batas kemanusiaan. Kami pernah berada dalam situasi di mana tidak ada batas antara hidup dan mati. Dan tidak ada siapapun yang bisa mencegah kalau kami dibunuh pada waktu itu,” ujarnya.
Para aktivis dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat pegiat hak asasi manusia yang tergabung dalam Koalisi Gerakan Melawan Lupa itu mengatakan, Rabu (6/5), bahwa kesaksian Kivlan bisa menjadi alat bukti dalam pengungkapan kasus penculikan aktivis.
Menanggapi hal itu, Komisioner Komnas HAM Nurkholis mengatakan bahwa lembaganya telah menganggap penyelidikan terkait kasus penculikan aktivis pada masa transisi Orde Baru ke masa reformasi itu sudah selesai. Saat ini, menurutnya, kewenangan penyidikan ada di tangan pihak Kejaksaan Agung.
“Penyelidikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu itu kan ada tujuh kasus. Nah dari beberapa tahun terakhir ini kan sebenarnya Komnas HAM selalu mengatakan bahwa mohon ditindaklanjuti saja itu hasil penyelidikan yang sudah selesai dilakukan oleh Komnas HAM. Ditingkatkan penyidikannya oleh Jaksa Agung,” ujarnya.
“Tetapi Jaksa Agung lebih memilih menggantungkan status penyidikan itu tanpa arah yang jelas. Oleh karena itu menurut saya, apapun yang disampaikan oleh orang ataupun aparatur negara bisa menjadi bahan yang kuat untuk proses penyidikan. Bagi Komnas HAM itu pekerjaan penyelidikan itu sudah selesai ya.”
Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung harus serius menuntaskan kasus penculikan aktivis ini karena sudah sedemikian lama kasus ini belum juga melalui proses hukum.
“Penting hari ini bagi Kejaksaan Agung dan juga Komnas HAM untuk mengambil satu solusi. Jadi konyol sekali dua institusi ini jika berdebat soal administrasi proses hukum tapi mengabaikan keadilan bagi para korban. Kalau sampai detik hari ini dan nanti sampai proses pemilu kedua institusi ini tidak melakukan apapun, maka kita patut katakan Komnas HAM dan Kejagung adalah bagian dari kejahatan penghilangan orang secara paksa,” ujarnya.
Sebelumnya kepada sejumlah media, Mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (purn) Kivlan Zen mengaku tahu persis peristiwa penculikan aktivis 1998. Kivlan bahkan mengaku mengetahui nasib 13 orang aktivis yang hingga saat ini belum kembali.
Dari para aktivis pro-demokrasi diculik pada 1997-1998, sembilan diantaranya telah dibebaskan setelah disiksa, sementara 13 orang lainnya hingga kini tak tentu rimbanya.
Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk Tentara Nasional Indonesia untuk menyelidiki kasus itu berakhir dengan pemecatan Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang dianggap mengetahui persis operasi penculikan yang dilakukan oleh anggota Kopassus yang tergabung dalam Tim Mawar.
Ketua SETARA Institute Hendardi meminta Prabowo, yang berambisi mencalonkan diri menjadi presiden dari Partai Gerindra, agar mengklarifikasi kasus penculikan tersebut dengan bersedia memberi keterangan kepada Komnas HAM dan Kejagung.
“Kesediaan Prabowo untuk dimintai klarifikasi itu juga mesti ditindaklanjuti. Saya kira ini wewenang dari Komnas HAM dan Kejagung untuk menjemput bola. Kedua institusi ini tidak boleh melihat hukum secara defensif,” ujarnya.
Mugiyanto, salah seorang korban penculikan, mengatakan Prabowo jelas terlibat dan harus bertanggung jawab atas kasus penculikan aktivis yang ia nilai di luar batas kemanusiaan.
“Prabowo mengatakan bahwa dia menculik atau mengamankan sembilan orang, salah satunya adalah saya. Menurut saya ini sudah melawan akal sehat dan akal kemanusiaan. Prabowo yang waktu itu membawahi Kopassus dan Tim Mawar itu tidak mengamankan kami. Prabowo menginterogasi dan menyiksa kami sampai di luar batas kemanusiaan. Kami pernah berada dalam situasi di mana tidak ada batas antara hidup dan mati. Dan tidak ada siapapun yang bisa mencegah kalau kami dibunuh pada waktu itu,” ujarnya.