Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengungkapkan setidaknya ada empat hal yang menjadi pemicu berbagai konflik di Bumi Cenderawasih. Pertama, katanya, terkait isu ideologi. “Ada konflik yang bersifat ideologis menyangkut aspirasi politik isu kemerdekaan. Di sini biasanya melibatkan golongan pro-kemerdekaan, kelompok bersenjata, dan TNI-Polri,” kata Atnike dalam acara diksusi berjudul 'Wamena Berdarah 2023: Adakah Unsur Kejahatan Kemanusiaan?', Selasa (14/3).
Kedua, terkait isu ekonomi. “Di sini bisa terjadi (antara) warga dengan korporasi atau pemerintah maupun di antara masyarakat sendiri dalam konteks untuk akses terhadap sumber daya ekonomi,” ucap Atnike.
Ketiga, terkait isu politik. “Di mana kebijakan-kebijakan pemerintah pusat misalnya direspons (oleh) penolakan atau mendapatkan kritik dari masyarakat,” ujar Atnike.
Keempat, terkait isu sosial budaya. “Ini motif atau penyebabnya bisa bermacam-macam yang berangkat dari persoalan-persoalan sosial dan bisa terjadi di antara orang Papua atau dengan orang non-Papua bisa terjadi konflik,” ungkap Atnike.
Berdasarkan catatan Komnas HAM pada tahun 2022, konflik bersenjata di Papua sedikitnya menelan korban 63 jiwa, termasuk 13 anggota TNI-Polri dan empat anggota kelompok sipil bersenjata. “Tapi korban terbesar sesungguhnya adalah dari masyarakat sipil yaitu 46 korban jiwa di tahun 2022,” jelas Atnike.
Atnike juga menyoroti konflik yang terjadi di Sinakma, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan pada 23 Februari 2023. Kasus yang terjadi di Wamena merupakan rangkaian kekerasan dan konflik yang masih terus berlanjut di Papua. Konflik itu dipicu oleh kabar bohong soal penculikan anak. Namun, eskalasi konflik tersebut berubah ketika ada keterlibatan aparat keamanan. Sebanyak 12 orang meninggal buntut dari konflik tersebut.
Peristiwa yang terjadi di Wamena berawal dari konflik sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Peristiwa berdarah itu disebut memiliki dimensi horizontal yang dipicu konflik sosial antara orang asli Papua dengan suku Batak terkait isu penculikan anak di Wamena. Peristiwa itu berubah menjadi konflik vertikal saat aparat keamanan terlibat dalam persoalan tersebut.
“Di dalam kasus Wamena kita juga melihat adanya peningkatan sentimen antara masyarakat yang berbeda etnis. Kemudian, dengan isu-isu sosial yang muncul di masyarakat dalam hal ini isu penculikan dan memicu terjadinya kekerasan,” kata Atnike.
Atnike menilai seharusnya ada ruang komunikasi antara pemerintah dan berbagai elemen masyarakat di Papua dalam merespons konflik.
“Dalam kasus Wamena saya melihat dimensi sosialnya itu lebih tinggi. Ini perlu diselidiki lebih lanjut. Ini agak berbeda dengan konteks konflik atau berlatar belakang politik,” ucapnya.
Komnas HAM saat ini telah melakukan pemantauan dan pembentukan penyelidikan terkait peristiwa berdarah di Wamena. Namun, Komnas HAM juga belum bisa membuat kesimpulan terkait dugaan pelanggaran HAM dalam konflik tersebut.
“Itu sepertinya kurang mendapatkan perhatian. Persoalan Papua bukan hanya soal kelompok kriminal bersenjata (KKB) dan penyanderaan pilot. Itu (konflik di Wamena) juga sama pentingnya. Tapi jika konflik berlatar belakang sosial seperti kasus Wamena tidak direspons secara cepat dan bijaksana maka problem HAM di Papua juga akan semakin rumit ke depannya,” pungkasnya.
Dalam peristiwa Wamena yang menyebabkan 12 orang meninggal. Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan memberikan uang duka senilai Rp5,5 miliar kepada para keluarga korban. Pemberian uang santunan itu banyak dikritik.
Peneliti masalah Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengatakan pemberian kompensasi kurang tepat untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan yang berujung kematian. Menurutnya, mekanisme penegakan hukum yang seharusnya diambil pemerintah.
“Menurut saya kompensasi itu tidak bisa menyelesaikan akar kekerasan konflik di Wamena. Walaupun konflik ini bukan bersifat politik. Jika ada orang demo ditembak lalu diberi kompensasi. Maka kekerasan terus bergulir dan akan membuat sebuah siklus kekerasan. Karena tidak ada hukuman bagi orang menembak terhadap masyarakat sipil, yang ada hanya impunitas,” ucapnya.
Cahyo pun menilai kompensasi itu hanya akan meligitimasi kekerasan yang lebih besar lagi. “Impunitas ini semakin besar justru meligitimasi kekerasan yang lebih besar lagi. Ini akan menjadi budaya kekerasan di mana tidak ada rasa bersalah ketika membunuh orang bisa diganti dengan denda,” katanya.
Terkait kasus Wamena, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengecam tindakan pihak berwenang yang dianggapnya berlebihan. Apalagi, katanya, kasus itu tidak ada kaitannya dengan konflik bersenjata.
“Dalam insiden Wamena, kita melihat penggunaan senjata api juga dilakukan dengan menggunakan peluru tajam. Akibatnya nyawa warga sipil melayang bahkan jumlahnya mencapai 12 orang,” ujarnya. [aa/ab]
Forum