Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menyatakan manual yang disusun bekerja sama dengan Yayasan Perlindungan Insani Indonesia itu bermanfaat bagi perempuan pembela HAM yang sering kali rentan terhadap tindak kekerasan atau jerat hukum.
Komnas Perempuan mencatat, setidaknya terdapat 87 kasus kekerasan terhadap PPHAM dalam rentang waktu 2015 sampai 2021. Pada tahun 2020 terdapat 36 kasus dan pada tahun 2021 terdapat 23 kasus. Angka kasus ini meningkat secara signifikan dibandingkan tahun 2019 yang hanya memiliki 5 kasus. Kenaikan kasus tersebut menunjukkan semakin rentannya posisi perempuan pembela HAM dalam menjalani aktivitas mereka.
“Kerentanan lain adalah juga dalam bentuk jeratan hukum oleh pelaku yang kita biasa sebut dengan kriminalisasi. Jeratan hukum ini juga dapat diarahkan oleh aparat negara. Kajian cepat yang dilakukan Komnas HAM pada tahun 2021, sekurangnya ada 15 perempuan pembela HAM yang mengalami kriminalisasi sepanjang tahun 2018 sampai tahun 2021,” kata Andy Yentriyani dalam Peringatan Hari Perempuan Pembela HAM bertema Merajut Kerangka Perlindungan bagi Perempuan Pembela HAM, Selasa.
“Kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM ini tentunya akan berdampak pada penanganan kasus-kasus yang dia dampingi dan menjadi tekanan baru baik bagi perempuan pembela HAM maupun korban yang dia dampingi itu,” jelas Andy Yentriyani. Selain di dunia nyata, kekerasan juga terjadi di dunia siber dalam bentuk ujaran, peretasan, hingga pesan seksual.
Komnas Perempuan mendefinisikan PPHAM sebagai perempuan yang membela HAM Perempuan dan HAM pada umumnya, serta setiap orang yang berjuang untuk penegakan dan pemajuan hak asasi khususnya hak asasi perempuan. Upaya pembelaan ini dapat dilakukan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama atau berkelompok.
Memperkuat Pengetahuan Perempuan Pembela HAM
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, memaparkan penyusunan Manual Perlindungan Keamanan Perempuan Pembela HAM di Indonesia itu dilatarbelakangi potensi ancaman dan kekerasan yang terus meningkat dengan modus dan aktor yang beragam seiring dinamika politik Indonesia. Selain itu, katanya, negara juga belum menyediakan mekanisme pencegahan maupun penanganan serta pemulihan bagi PPHAM yang mengalami kekerasan.
Manual tersebut memuat sejumlah informasi di antaranya analisis situasi dan risiko pengelolaan, serta konsep perlindungan dan keamanan bagi perempuan pembela HAM.
“Kita ingin memperkuat pengetahuan lalu di konteks ini pengetahuan dan sarana bagi PPHAM maupun organisasi perempuan untuk meningkatkan pemahaman mereka akan keselamatan dan perlindungan,” jelas Theresia Iswarini.
Manual tersebut dikembangkan berdasarkan situasi, pengalaman dan pengetahuan para PPHAM dari berbagai sektor dan dengan pendekatan interseksionalitas. Manual tersebut dapat diakses di situs Komnas Perempuan.
Dorong Pengakuan Negara
Dalam pandangan Komisioner Komnas HAM RI Anis Hidayah, manual Perlindungan Keamanan Perempuan Pembela HAM di Indonesia bisa menjadi instrumen yang akan mendorong penegakan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan yang dihadapi perempuan pembela HAM yang selama ini nyaris tidak terselesaikan melalui jalur hukum yang berkeadilan, transparan dan imparsial.
“Selain dari perspektif atau paradigma penegakan HAM terhadap kasus-kasus pembela HAM perempuan yang masih tidak berpihak, itu juga dukungan dari pemerintah, kemudian lingkungan sekitar yang juga masih sangat patriarki, belum berpihak, sehingga itu juga mempengaruhi akses atas keadilan bagi perempuan pembela HAM masih belum terpenuhi,” kata Anis Hidayah.
Menguatnya pengetahuan tentang perempuan pembela HAM, menurut Anis, dapat berkontribusi terhadap minimalisasi kekerasan berbasis gender. Manual tersebut, menurut Anis Hidayah, diharapkan dapat mendorong munculnya pengakuan negara terhadap Perempuan Pembela HAM yang secara nyata berkontribusi terhadap upaya pemajuan dan penegakan HAM terhadap perempuan di Indonesia. [yl/ab]
Forum