Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengungkapkan saat ini praktik penyiksaan seksual terhadap perempuan masih ditemukan. Komnas Perempuan mencatat sejumlah kasus praktik penyiksaan seksual terhadap perempuan, antara lain yang terjadi baru-baru ini di Maluku Utara ketika seorang perempuan yang sedang ditahan aparat malah menjadi korban pemerkosaan di dalam tahanan.
"Ada juga kasus seorang anak dari bapak yang ditahan kemudian melakukan hubungan seksual dengan asumsi kalau dia melakukan itu maka hukuman bapaknya akan dikurangi. Dua model seperti ini sebenarnya bisa masuk ke dalam klausul penyiksaan seksual," katanya dalam konferensi pers di Jakarta menjelang Hari Anti Penyiksaan Internasional, Jumat (24/6).
Andy melanjutkan, penyiksaan terhadap perempuan kerap terjadi ketika sedang tersandung kasus hukum atau ketika menjalani masa tahanan. Tak terkecuali penangkapan terhadap perempuan terkait dengan konflik sumber daya alam, agraria, dan infrastruktur.
"Kami juga masih menerima laporan mengenai bagaimana kondisi perempuan yang berhadapan dengan hukum kadang-kadang belum bisa mendapatkan hak-haknya. Itu karena berbagai persoalan struktural termasuk penyikapan dari aparat penegakan hukum yang justru pernyataannya merendahkan dan melecehkan," jelasnya.
Komnas Perempuan pun menyarankan agar institusi Polri segera mengeluarkan pedoman untuk mencegah penyiksaan terhadap perempuan saat menjalani proses hukum.
"Menyusul pedoman yang sama dengan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung untuk penyelidikan perempuan berhadapan dengan hukum agar bisa menjadi bagian dari pencegahan penyiksaan seksual," ucap Andy.
Urgensi Ratifikasi OPCAT
Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mendorong pemerintah untuk meratifikasi Optional Protocol Convention Against Torture (OPCAT) yang memiliki aturan dan sanksi yang rinci terhadap penyiksaan dan perlakuan kejam. Konvensi ini akan memaksa pemerintah yang telah meratifikasinya untuk menyelidiki semua tuduhan penyiksaan, mengadili para pelaku dan memberikan pemulihan bagi korban penyiksaan.
Indonesia sebenarnya telah meratifikasi the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.
Namun, perundangan tersebut belum menjadi rujukan atas terjadinya tindakan penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.
"Konvensinya sendiri sudah menjadi undang-undang. Ada undang-undang lain juga menekankan bahwa penyiksaan itu melanggar HAM yaitu UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Lalu, UU No 12 Tahun 2004 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik bahwa penyiksaan bertentangan dengan hak asasi manusia," ujar Amiruddin.
Menurut Komnas HAM, meratifikasi OPCAT perlu dilakukan pemerintah agar bisa menghentikan segala bentuk penyiksaan yang masih terus terjadi hingga saat ini.
"Kenapa ini penting? Karena hari ini berdasarkan data yang masuk ke Komnas HAM bahwa penyiksaan itu ada dan terjadi bahkan bentuknya melampui dari imajinasi akal sehat," pungkas Amiruddin. [aa/em]