Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan ), Riri Khariroh, mengatakan lembaganya memang selama ini cukup kritis menyikapi pelaksanaan qanun jinayat di Aceh yang mengontrol tubuh perempuan dan membatasi ruang gerak kaum hawa.
Dia mencontohkan pada 2015 Wali Kota Banda Aceh mengeluarkan surat edaran yang melarang perempuan keluar rumah di atas pukul 22.00, dengan alasan untuk melindungi perempuan.
Riri menambahkan Komnas Perempuan tidak setuju dengan kebijakan tersebut.
“Kalau perempuan menjadi korban kekerasan, harusnya bukan peremuan dibatasi jamnya, tapi bagaimana membuat suasana di Aceh menjadi aman bagi perempuan," katanya.
"Jadi bukan melarang perempuan untuk keluar malam, tapi bagaimana pemerintah Aceh memberikan perlindungan terhadap perempuan kapanpun dan di manapun berada,” ujar Riri menambahkan.
Riri mencemaskan kalau pembatasan-pembatasan semacam itu justru melanggar hak-hak perempuan. Misalnya, para perempuan yang ingin bekerja di malam hari.
Riri juga menyoroti qanun jinayat yang menjadikan perempuan sebagai pelaku zina sehingga dihukum cambuk, meski dia menjadi korban pemerkosaan.
Meski begitu, dia menekankan Komnas Perempuan bukan tidak setuju dengan pemberlakukan syariat Islam di Aceh. Komisioner Komnas Perempuan itu menambahkan syariat Islam adalah sesuatu yang harus dihormati, namun implementasinya harusnya melindungi perempuan dan bukan menimbulkan persoalan baru yang berpotensi pada peanggaran hak asasi kaum hawa.
Riri juga mengkritik pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh yang selama ini dilakukan di depan umum dan disaksikan banyak orang, termasuk anak-anak. Dia menilai ketika perempuan dicambuk karena masalah khalwat hal ini meruntuhkan martabat perempuan dimaksud dan menimbulkan trauma kalau tidak ada proses rehabilitasi.
Beruntung, lanjut Riri, Gubernur Aceh mengeluarkan surat keputusan yang memindahkan pelaksanaan hukuman cambuk di dalam lembaga pemasyarakatan. Dia menilai ini sebuah kemajuan.
Riri berharap pemerintah Aceh terus melakukan perbaikan terhadap penerapan syariat Islam agar lebih humanis dan berperspektif hak asasi manusia. Dia mencontohkan bagaimana syariat Islam itu tidak mengontrol dan membuat batasan bagi mobilitas kaum hawa atau aturan yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh.
Riri mengakui penerapan syariat islam di Aceh menimbulkan citra buruk di masyakat internasional. Pandangan media Barat itu, tambahnya, harus menjadi masukan bagi pemerintah Aceh untuk terus melakukan perbaikan supaya stigma-stigma tersebut tidak terus bermunculan.
“Media-media internasional banyak yang memberitakan wajah syariat islam di Aceh yang "mengerikan". bukan yang lebih ramah terhadap perempuan, non-muslim, minoritas, dan membawa kesejahteraan,” papar Riri.
Timbul Sinaga, direktur instrumen hak asasi manusia (HAM) pada Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM, menjelaskan pemerintah saat ini tengah berupaya menyelesaikan beragam pelanggaran HAM pernah terjadi di Aceh, baik melalui cara-cara yudisial atau non-yudisial.
“Pemerintah akan membentuk sebuah tim lintas kementerian dan lembaga untuk membantu korban-korban pelanggaran HAM di Aceh,” kata Timbul.
Pemerintah, tambah Timbul, juga akan mengevaluasi jika ada qanun yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan lebih tinggi. Atau, jika Qanun melanggar hak asasi manusia, tidak sesuai dengan UUD 1945, dan bertolak belakang dengan kepentingan umum.