Kontroversi akan penerbitan Permendikbudristek No. 30/2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus kini berlanjut di jalur hukum setelah Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)Sumatera Barat mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) atas peraturan tersebut.
Menanggapi tindakan yang diambil oleh LKAAM, Komnas Perempuan mendesak MA untuk menolak permohonan uji materi tersebut karena beberapa hal termasuk kewajiban MA sebagai lembaga negara untuk menyediakan ruang aman dari tindakan kekerasan terutama di lingkungan pendidikan.
Komnas Perempuan juga menilai bahwa LKAAM sebagai pihak yang mengajukan keberatan juga tidak mengalami kerugian sebagai warga negara atas terbitnya peraturan menteri tersebut yang khusus hadir sebagai respons atas maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus di Indonesia.
"Setelah kami memeriksa tentang kedudukan hukum dari pemohon, Komnas Perempuan berpendapat bahwa pemohon tidak memiliki ketepatan kriteria untuk mengajukan ini. Karena itu Komnas HAM merekomendasikan kepada MA untuk menolak," ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam konferensi pers daring pada Selasa (23/3).
Selain itu, Komnas Perempuan berpandangan mekanisme uji materiil peraturan di bawah undang-undang agar mendengar para pihak yang berkepentingan. Pihak yang berkepentingan di sini ialah para perempuan yang memiliki pengalaman khas dibandingkan laki-laki atas penerapan norma hukum.
"Komnas Perempuan juga berkepentingan untuk memastikan MA berkenan membuka dan memperbaiki tentang mekanisme uji materiil agar lebih terbuka dan akuntabel," tambah Andy.
Sementara itu, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat menambahkan permohonan uji materiil tersebut kontraproduktif dengan semangat dalam memberikan rasa aman bagi warga perguruan tinggi. Menurutnya, aturan turunan dari Permendikbudristek 30/2021 telah dilaksanakan di berbagai kampus, termasuk UNJ. Kendati, ia mengatakan permohonan uji materiil merupakan hak semua warga negara.
"Kontraproduktif bagi proses pembentukan legalitas di perguruan tinggi. Saya juga tidak bisa menerima alasan pemohon, bahwa ini akan membuka tindakan asusila," jelas Rakhmat kepada VOA, Rabu (23/3).
Rakhmat mendorong masyarakat perguruan tinggi di berbagai daerah agar mengawal uji materiil di MA ini secara konsisten. Ini supaya gugatan yang disampaikan tidak dikabulkan oleh MA.
VOA sudah berusaha menghubungi Mahkamah Agung terkait desakan dari Komnas Perempuan. Namun, hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari Mahkamah Agung.
Di lain pihak, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Fauzi Bahar mengatakan masyarakat Minangkabau sangat menghormati perempuan. Kata dia, hal tersebut terlihat dalam sistem sosial matriarki di Minangkabau.
Karena itu, ia tidak sepakat dengan aturan tersebut yang salah satunya mengandung frasa tanpa persetujuan korban yang berpotensi menimbulkan pergaulan bebas.
"Orang sekolahkan anaknya jauh untuk dapat ilmu dan dapat kepastian keamanan, tapi ketika dibebaskan, bebas dan membuat orang cemas," jelas Fauzi kepada VOA, pada Kamis (24/3).
Selain dari LKAAM Sumatera Barat, penolakan terhadap Permendikbudristek 30/2021 sebelumnya datang dari organisasi Islam Muhammadiyah.
Muhammadiyah menilai frasa tanpa persetujuan korban mendegradasi substansi kekerasan seksual yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban. Selain itu, Muhammadiyah berpandangan aturan ini menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. [sm/rs]