RUU Perlindungan PRT memang telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Namun, hingga saat ini nasib RUU Perlindungan PRT masih belum jelas. Padahal, tak sampai dua bulan lagi tahun 2021 akan berakhir. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menilai tak ada lagi alasan untuk menunda disahkannya RUU Perlindungan PRT di tahun 2021.
"Upaya untuk membangun kerangka perlindungan hukum bagi PRT telah dimulai beberapa tahun terakhir. Rasanya sudah tidak ada lagi alasan yang tepat untuk menunda pengesahan RUU Perlindungan PRT," katanya dalam webinar Gerakan Kemanusiaan Ibu Bangsa untuk Perlindungan Jaminan Sosial bagi Perempuan PRT, Rabu (3/11).
Lanjut Andy, saat ini pengesahan RUU tersebut sangat ditunggu karena akan memberikan perlindungan hukum bagi para perempuan yang bekerja sebagai PRT dalam menghadapi berbagai kerentanan mulai dari eksploitasi, diskriminasi, hingga kekerasan.
"Payung hukum yang sebenarnya kita harapkan ini juga bisa memberikan ketegasan hukum bagi agen perekrut dan penyalur PRT. Jika tidak ada aturan sangat gampang bagi agen penyalur PRT tergelincir menjadi pelaku tindak pidana perdagangan orang," ujarnya.
RUU Perlindungan PRT tentu bisa menjadi angin segar bagi para pekerja maupun pemberi kerja. Pasalnya, RUU Perlindungan PRT akan menjadi solusi atas kerentanan yang dihadapi oleh dua pihak itu.
"Kita tahu kebutuhan akan PRT semakin meningkat. Ada yang bahkan harus menggantungkan seluruh kehidupan putaran keluarga dengan PRT. Pemberi kerja juga membutuhkan jaminan bahwa pihak yang diminta untuk bekerja di rumahnya," ungkap Andy.
Menurut Andy, apabila pemerintah kembali menunda disahkannya RUU Perlindungan PRT yang dianggap sebagai jaminan hukum bagi pekerja informal itu. Maka negara secara tidak langsung telah menjadi aktor pelanggaran HAM.
"Karena tidak memberikan perlindungan baik itu pada pekerjaan yang layak untuk kemanusiaan, perlindungan hukum, rasa aman termasuk pemberi kerja. Kita menggantungkan harapan kepada pemerintah dan pihak legislatif untuk menyegerakan. Semoga bisa disahkan di dalam masa sidang di 2021 yang akan segera berakhir dalam waktu satu bulan ke depan," jelasnya.
KOWANI : DPR Harus Sahkan RUU PPRT Yang Mandek Sejak 2004
Hal senada juga disampaikan Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Ketum KOWANI), Giwo Rubianto Wiyogo. Menurutnya, DPR harus segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT yang mandek sejak tahun 2004.
"Walaupun Badan Legislasi DPR RI sudah memutuskan RUU Perlindungan PRT untuk ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR. Namun, hingga Oktober 2021 masih belum diagendakan," ujarnya.
Masih kata Giwo, RUU Perlindungan PRT akan memberikan hak dan kewajiban pekerja maupun yang memberi kerja. Karena dalam praktiknya pekerjaan sektor informal itu sangat rawan dan rentan terhadap diskriminasi, eksploitasi, serta kekerasan.
"Pengesahan RUU Perlindungan PRT telah menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. RUU itu dinilai akan melahirkan sejarah baru dari penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap PRT di Indonesia," ucapnya.
Menaker : UU PPRT Beri Perlindungan Kuat
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menilai salah satu kelemahan utama dalam sektor informal adalah masih lemahnya perlindungan terhadap pekerja dalam berbagai aspek. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab pekerjaan sebagai PRT masih penuh dengan kerentanan dan risiko yang merugikan.
"Sebagaimana diketahui bahwa PRT yang wilayah kerjanya domestik dan swasta termasuk rentan terhadap diskriminasi seperti pelecehan profesi, eksploitasi bahkan kekerasan baik secara ekonomi fisik maupun psikologis dalam bentuk intimidasi atau isolasi," katanya.
Lanjut Ida, perlindungan PRT harus diperbaiki ke depannya. Pengesahan RUU Perlindungan PRT akan menjadi sejarah baru dalam penghapusan kekerasan dan diskriminasi di Indonesia. Bukan hanya itu, RUU Perlindungan PRT juga bertujuan menciptakan hubungan industrial yang kondusif tanpa diskriminasi antara PRT dan pemberi kerja.
"Sehingga hal yang tidak boleh dilewatkan dalam RUU Perlindungan PRT adalah pentingnya perjanjian kerja antara pekerja dan pemberi kerja untuk menjamin hak serta kewajiban kedua pihak. Tentu saja untuk penegakan norma kerja," pungkasnya.
Nasib 4,2 Juta PRT di Tangan DPR
Berdasarkan data Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2016 PRT Indonesia mencapai 4,2 juta orang, naik drastis dibandingkan angka 2008 yang hanya berjumlah 2,6 juta.
Kemudian, menurut dokumentasi kasus yang dikompilasi oleh Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dalam kurun waktu 2012-2019 terdapat lebih dari 3.219 kasus yang dialami oleh PRT. Kasus itu berupa kekerasan fisik, ekonomi, berupa penahanan dokumen pribadi, gaji tidak dibayar, perdagangan orang serta kekerasan psikis berupa isolasi dan penyekapan. [aa/em]