SINGAPURA/JAKARTA —
Pertumbuhan ekonomi Indonesia seharusnya menjadi tambang emas bagi maskapai penerbangan. Namun kebangkrutan Batavia Air, perusahaan penerbangan nomor empat di Indonesia menunjukkan bahwa operator-operator lebih kecil kesulitan bertahan.
Batavia merupakan maskapai berbiaya rendah di Indonesia yang mengalami masalah utang dalam dua tahun terakhir, korban dari ketatnya margin operasi dalam pasar yang ramai. Kelihatannya akan ada lagi yang mengalami masalah yang sama.
Data dari Kementerian Perhubungan menunjukkan ada 22 maskapai penerbangan komersil yang aktif saat ini, tidak termasuk kargo dan pesawat carteran.
Dalam salah satu pasar penerbangan yang paling cepat tumbuh tapi paling kompetitif di dunia, Lion Air, AirAsia Bhd dari Malaysia, Garuda Indonesia dan Mandala Airlines (sebagian dimiliki oleh Tiger Airways Ltd dari Singapura) – semuanya mengembangkan kapasitas mereka.
Namun operator-operator kecil seperti Batavia yang berusia 11 tahun dan merugi, sebuah maskapai internasional yang baru akan mulai berkembang dinyatakan bangkrut oleh pengadilan niaga minggu lalu setelah kesulitan membayar utang, menghadapi kesulitan.
Maskapai berbiaya rendah dipaksa menjual tiket jauh di bawah harga impas (break-even).
“Kompetisi semakin intens dan yang lemah akan tersingkirkan,” ujar Shukor Yusof, analis dari divisi Capital IQ di Standard & Poor's Singapura.
"Para pemain lebih kecil kesulitan mencari untung.”
Meski demikian, potensi di Indonesia sangat jelas. Pada 2030, 90 juta orang lagi akan memasuki kelas konsumen, lebih tinggi dari negara lain kecuali Tiongkok dan India, menurut penelitian kantor konsultan McKinsey & Co.
Lion Air menguasai hampir setengah dari pasar, diikuti Garuda dengan sekitar 25 persen, Sriwijaya Air hampir 12 persen dan Merpati Nusantara 3 persen.
Namun maskapai-maskapai yang lebih kecil kekurangan dana tunai besar yang dibutuhkan untuk mempertahankan biaya yang menimbulkan kerugian, dan uang untuk membeli tempat mendarat dan pesawat baru.
“Pasar di Indonesia sangat terbagi dan sangat kompetitif, sehingga jika jumlah maskapai berkurang satu lagi, sebetulnya itu lebih sehat untuk industri ini,” ujar Brendan Sobie, analis kepala Centre for Asia Pacific Aviation, perusahaan konsultasi industri yang berbasis di Singapura.
“Meski satu operator kecil bangkrut, tidak berarti tidak akan ada pertumbuhan,” ujarnya.
Kompetisi Keras
Baik Lion Air dan AirAsia telah mencapai rekor dengan pemesanan pesawat senilai miliaran dolar dari Boeing dan Airbus dalam dua tahun terakhir.
Di permukaan, Batavia tampak sangat menjanjikan dengan mengoperasikan 34 pesawat. Juli lalu, maskapai penerbangan berbiaya rendah teratas di Asia Tenggara, AirAsia, mengumumkan rencana untuk membeli Batavia seharga US$80 juta.
Namun pada Oktober, rencana itu dibatalkan karena dianggap terlalu berisiko.
“Masalah utama kita adalah karena kompetisinya terlalu keras,” ujar Sukirno Sukarna, mantan direktur komersial di Batavia.
“Armada kita sudah tua, jadi kita tidak bisa menjual tiket di batas atas harga yang ditetapkan pemerintah sementara maskapai lain memiliki pesawat-pesawat baru dan harga lebih tinggi.”
Meski faktor muatan, atau proporsi kursi yang diduduki penumpang yang membayar, ada di antara 70 dan 80 persen, mendekati rata-rata industri, Batavia tidak dapat menutupi biaya dan menjual tiket di bawah harga impas, ujar Sukirno.
Untuk rute sibuk dari Jakarta ke Ambon, Batavia harus menjual tiket seharga paling tidak Rp 1,5 juta untuk mendapat untung. Tapi karena persaingan ketat, tiket dijual di bawah Rp 1 juta.
Kerugian kemudian menumpuk, mencapai Rp 310 miliar untuk pendapatan Rp 4,2 triliun tahun lalu, ujar Sukirno. Total utang membengkak menjadi Rp 1,2 triliun, menurut pengacara kebangkrutan yang mengelola aset dan menolak disebutkan namanya.
“Kebangkrutan [Batavia] ini memperlihatkan kerasnya pasar sekarang, namun pertumbuhan tetap ada,” ujar Arif Wibowo, eksekutif kepala unit berbiaya rendah Garuda, Citilink.
“Pertumbuhan selalu diikuti kompetisi yang keras.”
Batavia, yang menguasai 11 persen pasar di Indonesia pada 2011, terutama melayani rute lokal dengan beberapa tujuan internasional seperti Guangzhou di Tiongkok dan Singapura.
Mandala menghentikan penerbangannya pada awal 2011 karena terlilit utang, sebelum diambil alih oleh perusahaan ekuitas swasta Saratoga Capital dan Tiger Airways dan kembali beroperasi.
“Situasi sekarang ini pada dasarnya membuat maskapai yang lebih besar untuk berkembang, sementara maskapai kecil akan amblas,” ujar Toto Nursatyo, direktur komersial di Sriwijaya Air.
“Mereka yang memiliki modal dan pangsa pasar lebih besar akan tumbuh sementara yang datang dan coba-coba akan berjuang.” (Reuters/Anshuman Daga dan Janeman Latul)
Batavia merupakan maskapai berbiaya rendah di Indonesia yang mengalami masalah utang dalam dua tahun terakhir, korban dari ketatnya margin operasi dalam pasar yang ramai. Kelihatannya akan ada lagi yang mengalami masalah yang sama.
Data dari Kementerian Perhubungan menunjukkan ada 22 maskapai penerbangan komersil yang aktif saat ini, tidak termasuk kargo dan pesawat carteran.
Dalam salah satu pasar penerbangan yang paling cepat tumbuh tapi paling kompetitif di dunia, Lion Air, AirAsia Bhd dari Malaysia, Garuda Indonesia dan Mandala Airlines (sebagian dimiliki oleh Tiger Airways Ltd dari Singapura) – semuanya mengembangkan kapasitas mereka.
Namun operator-operator kecil seperti Batavia yang berusia 11 tahun dan merugi, sebuah maskapai internasional yang baru akan mulai berkembang dinyatakan bangkrut oleh pengadilan niaga minggu lalu setelah kesulitan membayar utang, menghadapi kesulitan.
Maskapai berbiaya rendah dipaksa menjual tiket jauh di bawah harga impas (break-even).
“Kompetisi semakin intens dan yang lemah akan tersingkirkan,” ujar Shukor Yusof, analis dari divisi Capital IQ di Standard & Poor's Singapura.
"Para pemain lebih kecil kesulitan mencari untung.”
Meski demikian, potensi di Indonesia sangat jelas. Pada 2030, 90 juta orang lagi akan memasuki kelas konsumen, lebih tinggi dari negara lain kecuali Tiongkok dan India, menurut penelitian kantor konsultan McKinsey & Co.
Lion Air menguasai hampir setengah dari pasar, diikuti Garuda dengan sekitar 25 persen, Sriwijaya Air hampir 12 persen dan Merpati Nusantara 3 persen.
Namun maskapai-maskapai yang lebih kecil kekurangan dana tunai besar yang dibutuhkan untuk mempertahankan biaya yang menimbulkan kerugian, dan uang untuk membeli tempat mendarat dan pesawat baru.
“Pasar di Indonesia sangat terbagi dan sangat kompetitif, sehingga jika jumlah maskapai berkurang satu lagi, sebetulnya itu lebih sehat untuk industri ini,” ujar Brendan Sobie, analis kepala Centre for Asia Pacific Aviation, perusahaan konsultasi industri yang berbasis di Singapura.
“Meski satu operator kecil bangkrut, tidak berarti tidak akan ada pertumbuhan,” ujarnya.
Kompetisi Keras
Baik Lion Air dan AirAsia telah mencapai rekor dengan pemesanan pesawat senilai miliaran dolar dari Boeing dan Airbus dalam dua tahun terakhir.
Di permukaan, Batavia tampak sangat menjanjikan dengan mengoperasikan 34 pesawat. Juli lalu, maskapai penerbangan berbiaya rendah teratas di Asia Tenggara, AirAsia, mengumumkan rencana untuk membeli Batavia seharga US$80 juta.
Namun pada Oktober, rencana itu dibatalkan karena dianggap terlalu berisiko.
“Masalah utama kita adalah karena kompetisinya terlalu keras,” ujar Sukirno Sukarna, mantan direktur komersial di Batavia.
“Armada kita sudah tua, jadi kita tidak bisa menjual tiket di batas atas harga yang ditetapkan pemerintah sementara maskapai lain memiliki pesawat-pesawat baru dan harga lebih tinggi.”
Meski faktor muatan, atau proporsi kursi yang diduduki penumpang yang membayar, ada di antara 70 dan 80 persen, mendekati rata-rata industri, Batavia tidak dapat menutupi biaya dan menjual tiket di bawah harga impas, ujar Sukirno.
Untuk rute sibuk dari Jakarta ke Ambon, Batavia harus menjual tiket seharga paling tidak Rp 1,5 juta untuk mendapat untung. Tapi karena persaingan ketat, tiket dijual di bawah Rp 1 juta.
Kerugian kemudian menumpuk, mencapai Rp 310 miliar untuk pendapatan Rp 4,2 triliun tahun lalu, ujar Sukirno. Total utang membengkak menjadi Rp 1,2 triliun, menurut pengacara kebangkrutan yang mengelola aset dan menolak disebutkan namanya.
“Kebangkrutan [Batavia] ini memperlihatkan kerasnya pasar sekarang, namun pertumbuhan tetap ada,” ujar Arif Wibowo, eksekutif kepala unit berbiaya rendah Garuda, Citilink.
“Pertumbuhan selalu diikuti kompetisi yang keras.”
Batavia, yang menguasai 11 persen pasar di Indonesia pada 2011, terutama melayani rute lokal dengan beberapa tujuan internasional seperti Guangzhou di Tiongkok dan Singapura.
Mandala menghentikan penerbangannya pada awal 2011 karena terlilit utang, sebelum diambil alih oleh perusahaan ekuitas swasta Saratoga Capital dan Tiger Airways dan kembali beroperasi.
“Situasi sekarang ini pada dasarnya membuat maskapai yang lebih besar untuk berkembang, sementara maskapai kecil akan amblas,” ujar Toto Nursatyo, direktur komersial di Sriwijaya Air.
“Mereka yang memiliki modal dan pangsa pasar lebih besar akan tumbuh sementara yang datang dan coba-coba akan berjuang.” (Reuters/Anshuman Daga dan Janeman Latul)