Gerakan “Indonesia Berkebaya” digalakkan agar perempuan Indonesia, terutama kelompok perempuan milenial, lebih mencintai budaya dan tidak segan-segan mengenakan kebaya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak cukup sampai di situ, komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia kini sedang memperjuangkan kebaya ke Unesco sebagai warisan budaya dunia.
Sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau, tentu Indonesia memiliki banyak budaya yang harus dilestarikan agar tak lekang oleh waktu. Salah satunya adalah kebaya, pakaian tradisional perempuan Indonesia.
Berawal dari gerakan “Selasa Berkebaya” dan “Indonesia Berkebaya,” Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia – yang dibentuk tahun 2014 oleh sejumlah mantan wartawan – kini memperjuangkan agar kebaya dapat diakui UNESCO sebagai warisan dunia. Sebelumnya Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan ini telah mengakui batik sebagai warisan budaya. Berbagai upaya, termasuk dorongan dari pemerintah, dilakukan oleh komunitas ini.
Salah seorang pendiri Komunitas Berkebaya Indonesia, Rahmi Hidayati, yang ditemui di sela-sela acara “Rumpi Kebaya Bersama Ibu Iriana Jokowi” di Jakarta, hari Selasa (8/10) mengatakan, “Jadi nanti kaya batik, semua orang tahu itu dari Indonesia, jadi kita pengen orang liat itu, oh Sari dari India, Kimono dari Jepang, sekarang kebaya tahu itu dari Indonesia. Itu sama-sama kita jaga, karena kalau enggak kita akan kena tsunami budaya. Selama ini kita udah kena budaya Eropa, K-Pop, kita punya budaya kita gak apa-apain. Sementara kita punya sesuatu yang bagus, seperti tari-tarian, busana kita punya semua, kita punya kain, pakainya kain, cuma karena kita gak peduli, akhirnya sudah kena tsunami semua. Nah gimana kita sekarang bangun lagi sama-sama.”
Ditambahkannya, komunitas ini juga sedang memperjuangkan penetapan Hari Berkebaya Nasional oleh pemerintah. Sejauh ini pemerintah telah ikut memberi dukungan dan pembiayaan.
Yenny Wahid: Tak Benar Mengenakan Kebaya Merupakan Tindakan Murtad
Dalam kesempatan yang sama, aktivis perempuan Yenny Wahid mengatakan, gerakan positif ini patut mendapat dukungan, karena bukan hanya melestarikan budaya saja, namun bisa menunjukkan identitas dan jati diri perempuan Indonesia yang bisa dilihat oleh dunia internasional. Menurutnya, selain membawa dampak positif dalam sosial budaya, gerakan berkebaya ini juga bisa menggerakan perekonomian rakyat, seiring maraknya keberadaan para pengrajin dan pembuat kebaya, serta munculnya pusat-pusat kerajinan.
Agar kelak lebih banyak lagi kaum perempuan muda Indonesia yang memakai kebaya, Yenny mengatakan harus dilakukan kampanye lewat sosial media. Komunitas perempuan berkebaya Indonesia dan pemerintah, kata Yenny, bisa menunjuk “social media influencer” yang punya banyak pengikut untuk mengkampanyekan gerakan berbaya secara lebih masif.
Yenny menyangkal anggapan bahwa mengenakan kebaya merupakan hal murtad dalam Islam.
“Islam sangat menghargai tradisi-tradisi lokal, tradisi menjadi salah satu bahkan sumber pegangan hukum dalam Islam, jadi kalau ada yang mencoba mendikotomikan atau membenturkan antara budaya dalam hal ini kebaya dengan Islam itu menurut saya sangat tidak tepat. Sebetulnya menunjukkan dia tidak terlalu mengerti dengan agamanya sendiri.”
Dirjen Kebudayaan Siap Fasilitasi Kebaya Agar Mendunia
Sementara itu, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Dr. Hilmar Farid mengatakan, pemerintah sudah pasti akan memberikan dukungan penuh pada “Gerakan Berkebaya Indonesia” ini. Bentuk dukungannya adalah dengan memfasilitasi ke ruang kebudayaan yang lebih besar agar kebaya bisa lebih mendunia.
“Ini kan gerakan yang diinisiasi oleh komunitas, dan tugas pemerintah sederhana yaitu memfasilitasi, ngasih ruang memperkenalkan stakeholder kebudayaan yang lebih luas, sehingga ekosistemnya terbangun. Kita tidak ikut campur untuk mengatur, ini betul-betul inisiatifnya komunitas, dan kita dorong memperkenalkannya ke ruang besar ini, juga tujuannya agar di lihat. Mungkin kalau ada orang merespon, memperkaya gerakan itu terus juga mungkin saling bertukar apapun yang mereka miliki. Itu tugas kita di situ ya sebagai fasilitator, dan saya tahu sekarang sudah banyak daerah, perwakilan, kalau dibantu ditingkatkan ke tingkat akar rumput, punya dampak ekonomi juga kareba nanti kerajinan tekstil kita hadi hidup kembali,” ujarnya.
Hilmar menilai selain melestarikan budaya, gerakan positif ini juga ikut mempertebal semangat keberagaman dan persatuan. [gi/em]