Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan pemerintah tidak transparan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja yang di dalamnya juga akan merevisi sejumlah pasal Undang-undang Pers. Menurutnya pemerintah tidak melibatkan kelompok pers dalam penyusunan RUU ini.
Ia menambahkan pemerintah juga berniat kembali campur tangan dalam membuat aturan tentang pers seperti pada masa orde baru. Itu terlihat dari rencana membuat peraturan pemerintah soal pemberian sanksi bagi perusahaan media. Padahal, kata dia, Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dibentuk dengan semangat membuat aturan sendiri (self regulatory) dan tanpa campur tangan pemerintah di dalamnya.
Semangat tersebut tidak terlepas dari praktik buruk yang dilakukan pemerintah orde baru yang mengekang pers, seperti ikut campur dalam pemberian izin penerbitan pers (SIUPP), menempatkan Menteri Penerangan di Dewan Pers dan menetapkan organisasi tunggal wartawan.
"Jadi dengan memasukkan klausul ketentuan lebih lanjut soal pemberian sanksi diatur oleh peraturan pemerintah, ini seperti pemerintah memberikan kewenangan kepada diri sendiri untuk campur tangan lagi dalam bidang pers. Dengan kata lain, pemerintah seperti mau memutar jam sejarah. Dan ingin campur tangan lagi dalam bidang pers, sesuatu yang harus kita tolak dengan keras," jelas Abdul Manan di kantor Dewan Pers, Selasa (18/2).
Abdul Manan menambahkan organisasinya juga menolak penaikan peningkatan sanksi denda dari Rp500 juta rupiah menjadi Rp2 miliar bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan. Adapun ketentuan tersebut berupa kewajiban hak jawab, pemberitaan dan opini yang menghormati norma agama dan asas praduga tak bersalah, serta larangan iklan yang merendahkan martabat suatu agama. Menurutnya, jumlah denda yang sebesar itu lebih bernuansa balas dendam, ketimbang mendidik pers nasional.
Manan juga tidak setuju dengan rencana meningkatkan sanksi bagi orang yang menghalangi kerja-kerja jurnalistik dari Rp500 juta menjadi Rp2 miliar. Menurutnya, Undang-undang pers saat ini masih memadai untuk melindungi kebebasan pers asalkan dilaksanakan dengan konsisten.
"Undang-undang Pers sekarang, mekanisme denda itu tidak banyak dipakai ketika ada orang yang melakukan kekerasan terhadap wartawan. Polisi, jaksa dan hakim paling sering menggunakan KUHP yang ancaman hukumannya lebih rendah. Dan hampir tidak pernah menggunakan UU Pers," tambahnya.
Selain AJI, organisasi jurnalis yang juga menolak revisi sejumlah pasal UU Pers dalam RUU Cilaka yaitu Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia dan LBH Pers. Mereka juga mengaku tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan RUU Cilaka tersebut.
Senada Anggota Dewan Pers Agung Dharmajaya mengatakan lembaganya juga tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU Cilaka. Menurutnya, lembaganya akan mengirim surat ke DPR agar dilibatkan dalam pembahasan RUU ini.
"Ketika bicara pers yang ada bagian dibahas di omnibus law. Maka semestinya kami diajak untuk bisa terlibat. Sehingga esensi materinya bisa dipahami betul," jelas Agung.
Pekan lalu (12/2), Pemerintah mengirimkan dokumen Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ke DPR. RUU tersebut hasil dari konsep Omnibus Law untuk merampingkan dan merevisi sejumlah undang-undang yang berlaku saat ini. Pemerintah menargetkan draf Omnibus Law RUU Cilaka bisa dibahas dan disahkan oleh DPR dalam waktu 100 hari.
Omnibus Law Cipta Kerja sejak lama diprioritaskan pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi untuk menggenjot investasi. Karena itu, pasal-pasal di sejumlah peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat investasi, akan disederhanakan bahkan dihapus. Setidaknya ada 1.244 pasal dari 79 undang-undang yang sedang digodok dalam RUU Cipta Kerja.
Selain mengatur soal investasi, RUU ini juga memasukkan revisi sejumlah pasal dalam Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Setidaknya ada dua pasal yang akan diubah, yaitu soal modal asing dan ketentuan pidana. [sm/ab]