Di pinggiran Kota Damaskus, segelintir orang Yahudi yang tersisa di Suriah kini dapat kembali berziarah ke salah satu sinagoge tertua di dunia di mana orang-orang dari seluruh wilayah itu pernah datang untuk beribadah.
Perang saudara selama 13 tahun di Suriah menyebabkan Sinagogae Jobar – atau juga dikenal sebagai Sinagoge Eliyahu Hanavi – hancur sebagian. Dinding dan atapnya runtuh. Beberapa artefak hilang. Sebuah papan marmer dalam bahasa Arab di pintu gerbang menunjukkan bahwa sinagoge ini pertama kali dibangun 720 tahun sebelum Masehi.
Sejak para pemberontak menggulingkan Presiden Bashar al-Assad pada 8 Desember lalu, orang-orang dapat dengan aman mengunjungi daerah pinggiran Jobar yang sebagian besar hancur akibat gempuran pasukan pemerintah selama bertahun-tahun.
Warga Yahudi di Suriah Tinggal 9 Orang
Suriah pernah menjadi rumah bagi salah satu komunitas Yahudi terbesar di dunia. Jumlahnya telah menyusut secara dramatis, terutama setelah didirikannya negara Israel pada 1948.
Menurut kepala komunitas Yahudi di Suriah, saat ini hanya tinggal sembilan orang Yahudi di negara itu dan hampir semuanya adalah laki-laki dan perempuan lanjut usia. Komunitas ini percaya tidak akan ada orang Yahudi Suriah yang tinggal di negara itu dalam beberapa tahun ke depan.
Salah seorang yang mengunjungi Sinagoge Jobar pada Kamis (26/12) adalah Bakhour Chamntoub, yang rambutnya berwarna abu-abu karena uban, ketua komunitas Yahudi di Suriah.
“Sinagoge ini sangat berarti bagi kami,” kata laki-laki berusia 74 tahun itu kepada The Associated Press, yang baru kembali datang ke sinagog itu dalam 15 tahun ini.
Chamntoub telah mendengar bahwa sinagoge itu dirusak, tetapi dia tidak menyangka akan melihat sebagian dari sinagoge tersebut telah menjadi tumpukan puing.
“Terus terang saya merasa sedih,” katanya. Dia menambahkan orang-orang Yahudi dari seluruh dunia telah meneleponnya untuk mengatakan bahwa mereka siap membantu membangun kembali.
Dia menolak meninggalkan Suriah selama perang, sementara 12 saudara kandungnya meninggalkan Suriah. Dia mengatakan dia bahagia di Suriah dan dikelilingi oleh orang-orang yang menghormatinya.
Chamntoub adalah salah seorang dari sedikit orang Yahudi yang secara terbuka berbicara tentang keyakinannya, dan mengatakan dia tidak pernah menghadapi diskriminasi.
Warga Yahudi lainnya memilih untuk tidak berbicara secara terbuka karena alasan keamanan di tengah permusuhan di Suriah terhadap musuh bebuyutan Israel dan ketakutan akan dicap sebagai mata-mata atau kolaborator, ujar Chamntoub.
Pasang Surut Komunitas Yahudi di Suriah
Komunitas Yahudi di Suriah sudah ada sejak Nabi Ilyas singgah di Damaskus hampir 3.000 tahun yang lalu. Ketika tentara Kristen menaklukkan Yerusalem pada Perang Salib Pertama dan membantai penduduk Muslim dan Yahudi di kota tersebut pada 1099, sekitar 50.000 orang Yahudi dilaporkan melarikan diri ke Damaskus, yang merupakan hampir sepertiga penduduk kota itu.
Gelombang warga Yahudi berikutnya tiba dari Eropa setelah mereka melarikan diri dari Inkuisisi Spanyol yang dimulai pada 1492.
Pada awal abad ke-20, komunitas Yahudi di Suriah mencapai sekitar 100.000 orang. Namun pada tahun-tahun setelah berdirinya Israel, kaum Yahudi di Suriah mengalami situasi tegang dan berbagai pembatasan. Walhasil banyak yang bermigrasi ke Israel, Amerika dan negara-negara lain.
Selama 54 tahun berada di bawah kekuasaan keluarga Assad, warga Yahudi di Suriah menikmati kebebasan dalam menjalankan ibadah, tetapi hingga awal tahun 1990an anggota komunitas dilarang bepergian ke luar negeri untuk mencegah mereka pergi ke Israel. Ketika pembatasan perjalanan dicabut pasca dimulainya perundingan damai Arab-Israel, tetap masih banyak yang meninggalkan negara tersebut.
Sebelum konflik dan perang saudara di Suriah dimulai pada 2011, Chamntoub dan anggota masyarakat lainnya datang ke Sinagoge Jobar untuk berdoa. Dia mengingat Taurat yang ditulis di atas kulit kijang, lampu gantung, permadani, dan karpet. Semuanya hilang, kemungkinan besar dicuri oleh penjarah.
Seorang Muslim Bantu pada Hari Sabat
Barakat Hazroumi, seorang Muslim yang lahir dan besar di dekat Sinagoge Jobar, menceritakan bagaimana jamaah Yahudi pada setiap Sabtu memintanya untuk menyalakan lampu atau menyalakan lilin karena orang Yahudi tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan fisik pada hari Sabat.
“Itu adalah tempat keagamaan yang indah,” kata Hazroumi tentang sinagog yang pada suatu saat selama perang saudara Suriah, senantiasa dilindungi oleh kelompok pemberontak. Daerah itu dan seluruh pinggiran kota yang hancur “perlu dibangun kembali dari awal.”
Pasukan Assad merebut kembali Jobar dari pemberontak pada 2018, tetapi menerapkan aturan keamanan yang sangat ketat, sehingga mencegah banyak orang mencapai daerah tersebut.
Penguasa Baru Suriah Jamin Kebebasan Beragama
Penguasa baru Suriah, yang dipimpin oleh kelompok Islam Hayat Tahrir al-Sham, mengatakan mereka akan mengizinkan umat semua agama untuk menjalankan ibadah mereka dengan bebas. Ada beberapa serangan sektarian, tetapi sebagian besar serangan terhadap anggota sekte minoritas Alawi yang dianut keluarga Assad dan pengikutnya.
Setelah mengunjungi Sinagoge Jobar, Chamntoub kembali ke rumahnya di bagian Damaskus yang sangat kuno dan berdekatan dengan sekolah swasta Yahudi yang dikenal sebagai Maimonides. Sekolah ini didirikan pada 1944, tetapi telah ditutup selama beberapa dekade. Poster-poster dalam bahasa Ibrani masih menempel di dinding.
Daerah ini dikenal sebagai kawasan Yahudi. Banyak rumah tua yang pintu dan jendelanya ditutup dengan potongan logam dan sebuah tanda dalam bahasa Arab, yang berarti “real-estat ditutup oleh Komite Tinggi Urusan Yahudi di Suriah.”
Makanan Halal
Ketika komunitas Yahudi menyusut, mereka juga kesulitan mendapatkan makanan halal. Chamntoub menerima paket daging dari saudara kandungnya di Amerika setidaknya setahun sekali melalui orang-orang yang bepergian ke Suriah. Di masa lalu, dia biasanya pergi ke pasar ayam bersama seorang teman Yahudi yang akan menyembelih ayam, tetapi sekarang ia sulit berjalan. Kini Chamntoub kebanyakan makan hidangan vegetarian. Hampir setiap pagi, dia memasak untuk dirinya sendiri dan seorang perempuan Yahudi di daerah itu yang tidak memiliki kerabat yang tersisa di Suriah.
Firdos Mallakh, perempuan berusia 88 tahun yang dimaksud Chamntoub sedang duduk di sofa di bawah dua selimut. Ketika diminta untuk menyapa seorang wartawan Associated Press dengan kalimat “Shabbat Shalom,” dia menjawab bahwa ini belum waktunya.
“Hari ini Kamis dan besok Jumat,” katanya.
Chamntoub, yang bermata-pencaharian sebagai tuan tanah, bertanya kepada Mallakh mengapa dia tidak menyalakan pemanas gas. Mallakh mengaku tidak ingin membuang-buang bensin.
Chamntoub berharap dengan jatuhnya Assad, warga Suriah akan menikmati lebih banyak kebebasan, baik ekonomi maupun kebebasan lainnya. Di masa lalu, katanya, pihak berwenang melarangnya memberikan wawancara tanpa izin dari badan keamanan.
“Saya seorang Yahudi, dan saya bangga akan hal itu,” katanya. [em/jm]
Forum