Zubaedah, warga Sulawesi Tengah, bersama suami dan dua anaknya hanya bisa duduk di pintu gerbang kompleks Keraton Solo, Senin siang (26/8).
Hampir dua jam mereka menunggu untuk dapat menjelajahi obyek wisaya tersebut, namun gagal karena pintu masuk ditutup akibat bentrokan antara dua kubu pendukung keluarga Keraton Solo. Dalam bentrokan tersebut, beberapa orang diantaranya membawa senjata tajam berupa parang.
“Kecewa saya. Saya belum pernah masuk ke keraton. Ya saya besok pilih ke Keraton Yogya dan Candi Borobudur saja. Ini kami mau balik ke hotel,” ujar Zubaedah.
Belasan wisatawan asing maupun dalam negeri harus meninggalkan kompleks Keraton karena insiden tersebut. Juru bicara salah satu kubu pendukung keluarga Keraton Solo, Edy Wirabhumi memohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi.
“Iya, insiden ini tentu saja ada dampaknya. Saya mohon maaf pada wisatawan yang berkunjung ke Keraton Solo saat ini atas ketidaknyamanan yang membuat kecewa kita semua. Saya optimis masalah ini akan terselesaikan,” ujarnya.
Juru bicara pendukung keluarga Keraton Solo lainnya, Bambang Ary mengatakan, awal insiden dipicu pengusiran saat pihaknya akan melakukan prosesi tradisi Jawa.
“Dengan kondisi seperti ini terpaksa acara prosesi tradisi Jawa ini kami batalkan. Kami tegaskan, kami tidak pernah mengganggu setiap acara yang mereka lakukan. Tetapi apa yang mereka lakukan pada acara kami, kegiatan kami dibubarkan secara paksa. Apakah ini perilaku putra-putri dalem, sikap anak dan keluarga Raja Keraton Solo,” ujarnya.
Konflik Keraton Solo membuat polisi bersiaga dan melakukan pengamanan. Kepala Kepolisian Solo Komisaris Besar Asjimain mengatakan konflik Keraton Solo ini menjadi salah satu prioritas utama tugas polisi di Solo. Lebih dari 200 polisi menjaga ketat kompleks Keraton.
Konflik Keraton Kasunanan tersebut berawal setelah meninggalnya Raja Pakubuwono XII pada 2004. Raja tersebut tidak memiliki permaisuri, sementara adat dan tradisi Keraton Kasunanan menyebutkan yang berhak menjadi raja adalah anak laki-laki tertua dari permaisuri.
Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua anak dari mendiang Raja, Hangabehi dan Tedjowulan. Keduanya menobatkan diri Pakubuwono XIII. Konflik berlangsung lama dan sempat didamaikan Walikota Solo saat itu, Joko Widodo, namun salah satu pendukung dari dua kelompok ini tetap menolak berdamai.
Pemerintah Kota Solo mencatat jumlah turis yang berkunjung ke Solo setiap tahun mencapai 1 juta orang, dan 95 persennya wisatawan dalam negeri.
Hampir dua jam mereka menunggu untuk dapat menjelajahi obyek wisaya tersebut, namun gagal karena pintu masuk ditutup akibat bentrokan antara dua kubu pendukung keluarga Keraton Solo. Dalam bentrokan tersebut, beberapa orang diantaranya membawa senjata tajam berupa parang.
“Kecewa saya. Saya belum pernah masuk ke keraton. Ya saya besok pilih ke Keraton Yogya dan Candi Borobudur saja. Ini kami mau balik ke hotel,” ujar Zubaedah.
Belasan wisatawan asing maupun dalam negeri harus meninggalkan kompleks Keraton karena insiden tersebut. Juru bicara salah satu kubu pendukung keluarga Keraton Solo, Edy Wirabhumi memohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi.
“Iya, insiden ini tentu saja ada dampaknya. Saya mohon maaf pada wisatawan yang berkunjung ke Keraton Solo saat ini atas ketidaknyamanan yang membuat kecewa kita semua. Saya optimis masalah ini akan terselesaikan,” ujarnya.
Juru bicara pendukung keluarga Keraton Solo lainnya, Bambang Ary mengatakan, awal insiden dipicu pengusiran saat pihaknya akan melakukan prosesi tradisi Jawa.
“Dengan kondisi seperti ini terpaksa acara prosesi tradisi Jawa ini kami batalkan. Kami tegaskan, kami tidak pernah mengganggu setiap acara yang mereka lakukan. Tetapi apa yang mereka lakukan pada acara kami, kegiatan kami dibubarkan secara paksa. Apakah ini perilaku putra-putri dalem, sikap anak dan keluarga Raja Keraton Solo,” ujarnya.
Konflik Keraton Solo membuat polisi bersiaga dan melakukan pengamanan. Kepala Kepolisian Solo Komisaris Besar Asjimain mengatakan konflik Keraton Solo ini menjadi salah satu prioritas utama tugas polisi di Solo. Lebih dari 200 polisi menjaga ketat kompleks Keraton.
Konflik Keraton Kasunanan tersebut berawal setelah meninggalnya Raja Pakubuwono XII pada 2004. Raja tersebut tidak memiliki permaisuri, sementara adat dan tradisi Keraton Kasunanan menyebutkan yang berhak menjadi raja adalah anak laki-laki tertua dari permaisuri.
Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua anak dari mendiang Raja, Hangabehi dan Tedjowulan. Keduanya menobatkan diri Pakubuwono XIII. Konflik berlangsung lama dan sempat didamaikan Walikota Solo saat itu, Joko Widodo, namun salah satu pendukung dari dua kelompok ini tetap menolak berdamai.
Pemerintah Kota Solo mencatat jumlah turis yang berkunjung ke Solo setiap tahun mencapai 1 juta orang, dan 95 persennya wisatawan dalam negeri.