WASHINGTON DC —
George Akhmeteli semakin terbiasa menyusuri jalan-jalan di kota New York dengan kursi rodanya walau hal itu sulit.
"Anda lihat ini? Sangat berbahaya," katanya.
Tetapi aktivis berusia 32 tahun itu mengatakan kondisi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kondisi di tanah airnya, Tblisi, Georgia.
Ia mengatakan, "Anda akan berjalan di sana selama sebulan, mungkin setahun, tetapi tidak akan pernah bertemu seorang pun penyandang cacat di jalan dan di luar. Tidak ada transportasi umum. Tidak ada bagian trotoar yang landai guna memudahkan penyandang cacat. Tidak ada akses bagi penyandang cacat di jalan-jalan. Dan benak masyarakat sarat stereotipe."
Itulah sebabnya Akhmeteli menjadi salah satu dari banyak advokat yang bergabung dengan Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry dalam mendesak Senat Amerika agar meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Cacat, guna membantu penyandang cacat dengan memastikan hak mereka untuk pendidikan, perawatan kesehatan dan pekerjaan.
Kerry mengatakan, "Ratifikasi Traktat Bagi Penyandang Cacat akan memajukan nilai-nilai inti rakyat Amerika. Ini akan memperluas kesempatan bagi warga dan bisnis kita, dan akan memperkuat kepemimpinan Amerika."
Tetapi traktat itu mengalami tentangan. Senator Bob Corker dari fraksi Republik menilai traktat itu "bisa merusak" Konstitusi Amerika dengan memungkinkan pejabat-pejabat PBB memaksa Amerika mengubah undang-undang.
Kritikus lain berpendapat traktat semacam itu tidak akan berhasil. Ted Bromund pada Heritage Foundation mengatakan, "Traktat semacam ini cenderung melindungi orang malas."
Sejauh ini, lebih dari 150 negara telah menandatangani konvensi tersebut, tetapi, bahkan di negara-negara itu, tetap ada masalah.
Laporan terbaru Human Rights Watch mengenai Rusia, misalnya, mendapati bahwa jutaan penyandang cacat masih menghadapi masalah yang signifikan, seperti akses kursi roda.
Penasihat Khusus Departemen Luar Negeri Amerika Judith Heumann mengatakan hal itu bisa berubah dengan Amerika meratifikasi konvensi tersebut.
"Kita harus memainkan peran berarti. Kalau Amerika tidak meratifikasi traktat itu maka negara-negara lain dan masyarakat sipil benar-benar mempertanyakan ketulusan kita," ujar Judith.
Pendukung lainnya juga menunjukkan, Traktat Penyandang Cacat PBB itu sebagian besar didasarkan pada Disabilities Act di Amerika yang ditandatangani menjadi undang-undang lebih dari 20 tahun lalu.
Tahun 2012, traktat PBB itu gagal diratifikasi dengan hanya kurang lima suara dan kini, tidak ada indikasi apakah, atau kapan, anggota Kongres Amerika akan bertindak meratifikasi traktat itu.
Namun, George Akhmeteli tidak menyerah. Ia bertekad terus berjuang sampai traktat itu diratifikasi oleh Kongres Amerika.
"Anda lihat ini? Sangat berbahaya," katanya.
Tetapi aktivis berusia 32 tahun itu mengatakan kondisi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kondisi di tanah airnya, Tblisi, Georgia.
Ia mengatakan, "Anda akan berjalan di sana selama sebulan, mungkin setahun, tetapi tidak akan pernah bertemu seorang pun penyandang cacat di jalan dan di luar. Tidak ada transportasi umum. Tidak ada bagian trotoar yang landai guna memudahkan penyandang cacat. Tidak ada akses bagi penyandang cacat di jalan-jalan. Dan benak masyarakat sarat stereotipe."
Itulah sebabnya Akhmeteli menjadi salah satu dari banyak advokat yang bergabung dengan Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry dalam mendesak Senat Amerika agar meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Cacat, guna membantu penyandang cacat dengan memastikan hak mereka untuk pendidikan, perawatan kesehatan dan pekerjaan.
Kerry mengatakan, "Ratifikasi Traktat Bagi Penyandang Cacat akan memajukan nilai-nilai inti rakyat Amerika. Ini akan memperluas kesempatan bagi warga dan bisnis kita, dan akan memperkuat kepemimpinan Amerika."
Tetapi traktat itu mengalami tentangan. Senator Bob Corker dari fraksi Republik menilai traktat itu "bisa merusak" Konstitusi Amerika dengan memungkinkan pejabat-pejabat PBB memaksa Amerika mengubah undang-undang.
Kritikus lain berpendapat traktat semacam itu tidak akan berhasil. Ted Bromund pada Heritage Foundation mengatakan, "Traktat semacam ini cenderung melindungi orang malas."
Sejauh ini, lebih dari 150 negara telah menandatangani konvensi tersebut, tetapi, bahkan di negara-negara itu, tetap ada masalah.
Laporan terbaru Human Rights Watch mengenai Rusia, misalnya, mendapati bahwa jutaan penyandang cacat masih menghadapi masalah yang signifikan, seperti akses kursi roda.
Penasihat Khusus Departemen Luar Negeri Amerika Judith Heumann mengatakan hal itu bisa berubah dengan Amerika meratifikasi konvensi tersebut.
"Kita harus memainkan peran berarti. Kalau Amerika tidak meratifikasi traktat itu maka negara-negara lain dan masyarakat sipil benar-benar mempertanyakan ketulusan kita," ujar Judith.
Pendukung lainnya juga menunjukkan, Traktat Penyandang Cacat PBB itu sebagian besar didasarkan pada Disabilities Act di Amerika yang ditandatangani menjadi undang-undang lebih dari 20 tahun lalu.
Tahun 2012, traktat PBB itu gagal diratifikasi dengan hanya kurang lima suara dan kini, tidak ada indikasi apakah, atau kapan, anggota Kongres Amerika akan bertindak meratifikasi traktat itu.
Namun, George Akhmeteli tidak menyerah. Ia bertekad terus berjuang sampai traktat itu diratifikasi oleh Kongres Amerika.