Tautan-tautan Akses

Kongres AS Gelar Rapat Dengar Pendapat tentang Muslim Ban


Dari kiri, Katelyn Love, Josh Lawson dan Kim Strach, direktur eksekutif Dewan Pemilihan, mendengarkan selama dengar pendapat publik tentang penyelidikan Distrik Kongres ke-9 di North Carolina State Bar di Raleigh, NC, 18 Februari. (Foto: AP)
Dari kiri, Katelyn Love, Josh Lawson dan Kim Strach, direktur eksekutif Dewan Pemilihan, mendengarkan selama dengar pendapat publik tentang penyelidikan Distrik Kongres ke-9 di North Carolina State Bar di Raleigh, NC, 18 Februari. (Foto: AP)

Lebih dari dua setengah tahun setelah diberlakukannya kebijakan pemerintahan Presiden Donald Trump, yang oleh banyak orang disebut sebagai muslim ban, Kongres AS untuk pertama kalinya menggelar dengar keterangan mengenai masalah tersebut.

“Saya belum pernah bertemu putri saya. Saya belum pernah menggendongnya. Saya hanya melihatnya melalui foto dan video," kata Ismail Alghazali, warganegara Amerika keturunan Yaman.

Di hadapan sebuah panel di Kongres AS akhir bulan lalu, ia mengemukakan dampak kebijakan pemerintah Amerika yang melarang warga dari beberapa negara yang mayoritas penduduknya muslim memasuki Amerika. Bagi Alghazali, larangan tersebut telah menghalangi istrinya, seorang warganegara Yaman, dan dua anaknya yang masih kecil, berkumpul dan tinggal bersama di AS.

Hal tersebut bermula dari tekad Donald Trump untuk melarang muslim memasuki Amerika semasa kampanye kepresidenannya. Pada awal 2017, ia mengeluarkan perintah eksekutif mengenai larangan perjalanan bagi warga dari tujuh negara, yakni Iran, Libya, Somalia, Suriah, dan Yaman, Korea Utara dan Venezuela. Trump dan pemerintahannya telah menegaskan perintah tersebut bukanlah muslim ban.

Seorang wanita memegang poster, mendorong pemakzulan Trump dan Pence selama protes larangan perjalanan Donald Trump dari negara-negara mayoritas muslim di Bandara Internasional Los Angeles (Foto: Reuters)
Seorang wanita memegang poster, mendorong pemakzulan Trump dan Pence selama protes larangan perjalanan Donald Trump dari negara-negara mayoritas muslim di Bandara Internasional Los Angeles (Foto: Reuters)

Para peneliti yang dikutip Huffington Post mendapati dari 549 kasus yang mereka kumpulkan, 26 persen adalah anak-anak yang terpisah dari orangtua karena larangan perjalanan tersebut, 37 persen lainnya adalah pasangan yang terpisah.

Kini, hampir tiga tahun setelah larangan sepihak itu, DPR AS akhir bulan lalu mengadakan dengar keterangan yang berfokus pada upaya untuk membatalkannya. Yang menjadi sorotan adalah RUU Antidiskriminasi berbasis Asal Negara bagi Nonimigran, dikenal sebagai No Ban Act, yang diajukan dua anggota Kongres dari fraksi Demokrat awal tahun ini. RUU itu dimaksudkan untuk mengakhiri muslim ban dan melarang presiden mendatang memberlakukan larangan serupa. Legislasi tersebut telah disponsori juga oleh lebih dari 170 anggota DPR, lebih dari 400 organisasi dan beberapa perusahaan terkemuka.

Lebih dari selusin perusahaan, termasuk Uber, Airbnb, Slack Spotify dan Twitter, telah mengumumkan dukungan mereka bagi No Ban Act dalam surat bersama mereka. “Hampir setengah dari 100 perusahaan terkemuka dalam daftar Fortune 500 dibangun oleh imigran atau anak-anak mereka. Larangan perjalanan ini menetapkan batas-batas yang tidak diperlukan mengenai jumlah orang-orang ambisius dari seluruh dunia yang dapat membawa gagasan hebat mereka ke AS,” demikian isi surat itu.

Larangan tersebut telah direvisi berkali-kali dan berkali-kali pula diadukan ke mahkamah federal. Namun Mahkamah Agung mengukuhkan kebijakan itu tahun lalu. Sejak larangan itu diberlakukan untuk pertama kalinya, banyak pengunjung dari negara-negara yang terkena larangan itu telantar di bandara-bandara. Pasangan yang baru menikah saling terpisah dan warga sipil yang berusaha mendapatkan perawatan medis tidak mendapatkan visa untuk berobat di AS. Sebagian warga Amerika juga dipaksa membuat keputusan sulit untuk meninggalkan AS dan pindah ke negara-negara yagn dicabik-cabik perang hanya agar dapat berkumpul kembali bersama keluarga mereka.

Sementara itu, dalam sidang tersebut Jerrold Nadler, ketua Komite Hukum DPR AS, menambahkan, "Muslim ban tidak membuat kita lebih aman. Ini telah melemahkan posisi kita di dunia dan bertentangan dengan landasan moral dan filosofi negara kita. Amerika Serikat selalu dan harus terus menjadi tempat yang menyambut dan merangkul orang-orang dari semua agama dan kebangsaan."

Farhana Khera, Presiden Muslim Advocates, organisasi sipil yang melawan larangan tersebut, di pengadilan mengatakan, sedikit sekali kemajuan yang dicapai dalam hal kedatangan warga dari negara yang terimbas itu ke AS.

"Menurut data dari Departemen Luar Negeri, dari sekitar 60 ribu pemohon visa selama periode 16 bulan, hanya 5,1 persen yang dikabulkan." kata Khera.

Khera menyatakan muslim ban sendiri merupakan bagian dari sejarah panjang dan memalukan dari penindasan oleh pemerintah terhadap kelompok-kelompok yang kurang beruntung.

"Muslim ban adalah hasil kampanye untuk mempersetankan dan merendahkan Muslim yang membangkitkan masa-masa gelap dalam riwayat negara kita. Kisah imigran Yahudi, Irlandia, Italia. Noda karena kamp interniran keturunan Jepang. Masing-masing kelompok itu dijauhi dan dikucilkan karena “perbedaan mereka.” Tetapi Amerika baru sukses pada waktu kelompok-kelompok itu tidak lagi dianggap sebagai pihak luar, dan mulai dipandang sebagai tetangga sendiri," kata Khera.

Dengar keterangan kali ini merupakan yang pertama kalinya diadakan oleh Kongres untuk membahas kebijakan muslim ban. Meski semakin banyak dukungan yang diberikan untuk No Ban Act, akan tetapi legislasi tersebut kemungkinan besar menghadapi tantangan di Senat yang dipimpin oleh fraksi Republik. [uh/lt]

XS
SM
MD
LG