Kepala Divisi Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Arif Nurfikri berharap kasus pelanggaran HAM berat dapat diselesaikan secara tuntas oleh Presiden Jokowi pada periode berikutnya.
Meski sebenarnya, kata Arif, lembaganya sangat menyayangkan kasus-kasus pelanggaran HAM ini tidak terselesaikan pada awal masa kepemimpinan Jokowi. Padahal, penuntasan kasus pelanggaran HAM sudah merupakan janji Jokowi yang tercantum dalam nawacita.
Menurut Arif, jika Presiden Jokowi ingin menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, Jokowi jangan memilih orang-orang yang terkait dengan sejumlah kasus pelanggaran HAM pada periode selanjutnya. Jokowi berulang kali mengatakan dia tidak memiliki beban masa lalu. Maka, tambah Arif seharusnya Jokowi dapat dengan mudah menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
“Kalau presiden mengatakan dia adalah orang yang merupakan tidak ada beban, ya selesaikan. Yang menjadi pertanyaan mengapa tidak diselesaikan?. Mungkin bukan beban dia sebagai pelaku pelanggaran HAM tapi orang-orang di belakang dia,” ujar Arif.
Sejak 2002, Komnas HAM menyerahkan sembilan berkas pelanggaran berat ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti. Namun, berkas-berkas perkara tersebut hanya bolak-balik dari Kejagung ke Komnas HAM dan sebaliknya.
Kesembilan kasus tersebut adalah: kasus peristiwa 1965/1966, peristiwa penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, peristiwa penghilangan paksa aktivis 1997-1998, peristiwa Trisakti 1998, peristiwa Semanggi I 1998 dan peristiwa Semanggi II 1999, kasus peristiwa Talangsari 1989, peristiwa kerusuhan Mei 1998 dan peristiwa Wasior Wamena 2000-2003.
Kejaksaan Agung menjelaskan berkas perkara itu tak memenuhi persyaratan formil dan materiil. Sehingga, jika dilanjutkan ke proses penyidikan, kejaksaan akan kesulitan mengumpulkan bukti.
Arif menilai selama ini tidak ada transparansi sehubungan penyelesaian kasus ini. Untuk itu dia mengusulkan agar ada gelar perkara publik terkait kasus-kasus tersebut. Sehingga publik bisa menilai masalah apa yang dihadapi dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat ini.
“Soal transparansi kenapa sih berkas bolak-balik. Teman-teman masyarakat sipil, keluarga korban ga pernah tahu kenapa berkas bisa bolak balik. Apakah ketidakmampuan Komnas HAM atau memang ketidakmampuan Kejaksaan Agungnya atau ada kepentingan lain. Ini yang tidak pernah transparan kepada publik,” ungkap Arif.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ifdhal Kasim menegaskan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan menjadi prioritas presiden Jokowi pada periode keduanya. Tentu nantinya, kata Ifdal, kasus-kasus tersebut akan diserahkan ke Jaksa Agung untuk diteliti lebih lanjut.
Menurut Ifdal apakah kasus-kasus tersebut bisa diajukan ke pengadilan atau tidak itu sangat tergantung pada hasil penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Karena tidak semua berkas-berkas itu siap diajukan ke pengadilan. Apabila tidak bisa diselesaikan di pengadilan lanjutnya, nanti akan dicari mekanisme yang lebih memungkinkan untuk menyelesaikan kasus-kasus ini.
Makanya, lanjut Iqbal, dalam memilih Jaksa Agung, Jokowi nanti akan melihat konsep dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
“Nah, dia harus berani. Berani menyidik kasus itu. Dan kalau memang tidak memiliki barang bukti dan sebagainya, dia harus berani mengeluarkan surat SP3 karena kewenangan itu ada di Kejaksaan Agung. Sampai sekarang tidak berani. Dia hanya mengatakan ke media kasus ini kurang,“ lanjut Ifdal.
Dalam visi misi Jokowi dan Ma'ruf di Pilpres 2019, salah satu janji yang diucapkan Jokowi adalah melanjutkan penyelesaian yang berkeadilan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. [fw/ft]