Memperingati hari dukungan internasional untuk korban penyiksaan yang jatuh pada 26 Juni, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa kasus penyiksaan di Indonesia dalam setahun terakhir meningkat lebih dari tiga kali lipat.
Dalam laporan yang diluncurkan Jumat (22/6), wakil koordinator KontraS, Indria Fernida mengatakan bahwa pada periode Juli 2011 sampai Juni 2012, Kontras mencatat ada 86 dugaan peristiwa penyiksaan dengan jumlah korban 243 orang, 98 diantaranya terjadi di Papua.
Jumlah ini meningkat dari 28 dugaan peristiwa penyiksaan dengan jumlah korban 49 orang pada periode Juli 2010 hingga Juni 2011.
Pelaku dugaan penyiksaan pada periode setahun terakhir adalah aparat Polri (14 peristiwa), TNI (60 peristiwa) dan sipir penjara (12 peristiwa).
“Kasus penyiksaan banyak terjadi ketika polisi melakukan interogasi kepada seseorang yang ditangkap,” ujar Indria.
Laporan Kontras ini merupakan hasil pemantauan dan pengaduan kasus penyiksaan yang langsung ditangani KontraS.
Menurut Kepala Biro Penelitian KontraS, Papang Hidayat, terus meningkatnya kasus penyiksaan di Indonesia diantaranya disebabkan tidak adanya regulasi yang mengatur soal kejahatan penyiksaan dan hukuman yang setimpal bagi pelakunya.
“Praktek penyiksaan juga masih menjadi persoalan impunitas karena mekanisme penghukumannya masih sangat bergantung pada mekanisme internal baik di tubuh TNI maupun Polri sehingga meniadakan efek jera,” kata Papang.
Ia menambahkan, Undang-undang Intelijen Negara yang baru disahkan juga sangat potensial membuka ruang praktek penyiksaan.
Untuk itu, kata Papang, KontraS meminta pemerintah dan DPR segera melakukan revisi terhadap KUHP dan juga meratifikasi konvensi perlindungan semua orang dari penghilangan paksa dan protokol opsional konvensi Anti penyiksaan.
Sebelumnya Juru bicara Presiden Julian Aldrin Pasha menyatakan pemerintah saat ini sedang melakukan kajian terkait dengan ratifikasi konvensi internasional perlindungan semua orang dari penghilangan paksa.
Kajian ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih dengan peraturan yang sudah ada ketika nanti Indonesia meratifikasi konvensi tersebut.
“Ini yang diharapkan menjadi sinkron satu sama lain sehingga tidak terjadi tumpang tindih diantara undang-undang yang ada,” ujar Julian.
Dalam laporan yang diluncurkan Jumat (22/6), wakil koordinator KontraS, Indria Fernida mengatakan bahwa pada periode Juli 2011 sampai Juni 2012, Kontras mencatat ada 86 dugaan peristiwa penyiksaan dengan jumlah korban 243 orang, 98 diantaranya terjadi di Papua.
Jumlah ini meningkat dari 28 dugaan peristiwa penyiksaan dengan jumlah korban 49 orang pada periode Juli 2010 hingga Juni 2011.
Pelaku dugaan penyiksaan pada periode setahun terakhir adalah aparat Polri (14 peristiwa), TNI (60 peristiwa) dan sipir penjara (12 peristiwa).
“Kasus penyiksaan banyak terjadi ketika polisi melakukan interogasi kepada seseorang yang ditangkap,” ujar Indria.
Laporan Kontras ini merupakan hasil pemantauan dan pengaduan kasus penyiksaan yang langsung ditangani KontraS.
Menurut Kepala Biro Penelitian KontraS, Papang Hidayat, terus meningkatnya kasus penyiksaan di Indonesia diantaranya disebabkan tidak adanya regulasi yang mengatur soal kejahatan penyiksaan dan hukuman yang setimpal bagi pelakunya.
“Praktek penyiksaan juga masih menjadi persoalan impunitas karena mekanisme penghukumannya masih sangat bergantung pada mekanisme internal baik di tubuh TNI maupun Polri sehingga meniadakan efek jera,” kata Papang.
Ia menambahkan, Undang-undang Intelijen Negara yang baru disahkan juga sangat potensial membuka ruang praktek penyiksaan.
Untuk itu, kata Papang, KontraS meminta pemerintah dan DPR segera melakukan revisi terhadap KUHP dan juga meratifikasi konvensi perlindungan semua orang dari penghilangan paksa dan protokol opsional konvensi Anti penyiksaan.
Sebelumnya Juru bicara Presiden Julian Aldrin Pasha menyatakan pemerintah saat ini sedang melakukan kajian terkait dengan ratifikasi konvensi internasional perlindungan semua orang dari penghilangan paksa.
Kajian ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih dengan peraturan yang sudah ada ketika nanti Indonesia meratifikasi konvensi tersebut.
“Ini yang diharapkan menjadi sinkron satu sama lain sehingga tidak terjadi tumpang tindih diantara undang-undang yang ada,” ujar Julian.