Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta agar Presiden Joko Widodo ( Jokowi) memiliki independensi dan komitmen kuat untuk selesaikan kasus pelanggaran HAM pada periode kedua pemerintahannya.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Senin (21/10) menegaskan selama periode pertama pemerintahannya, Joko Widodo gagal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti-Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
Padahal dalam janji kampanyenya saat Pemilihan Presiden 2014 yang tertuang dalam Nawa Cita, lanjutnya, Joko Widodo secara gamblang berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara adil yang sampai saat ini menjadi beban sosial dan politik bagi bangsa Indonesia.
"Dari keenam kasus itu, sama sekali ketika lima tahun pemerintahan Pak Jokowi, itu tidak ada satu pun langkah-langkah konkret untuk mewujudkan atau mengimplementasikan janji politiknya tersebut," kata Dimas.
Setahun setelah Joko Widodo dilantik, menurut Dimas, pemerintah pernah membentuk tim rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pendekatan non-yudisial. Pada 2016, pemerintah menggelar satu simposium mengenai Tragedi 1965 yang tidak melegitimasi korban.
Ketika menggantikan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan, Wiranto membentuk Dewan Kerukunan Nasional yang pada dasarnya sama dengan proses rekonsiliasi non-yudisial.
Dimas melihat rekonsiliasi versi pemerintah ini sebagai bentuk cuci tangan karena keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dilibatkan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan untuk memulihkan korban dan keluarga korban.
Sementara terkait perlindungan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, KontraS menemukan selama 2014-2019 terdapat 549 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah.
Kepala Biro Riset dan Dokumentasi KontraS Rifandi Ananda menjelaskan salah satu penyebab masih langgengnya pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan beribadah adalah masih adanya produk-produk hukum yang tidak mendukung akan hal tersebut. Dia mencontohkan Surat Keputusan Bersama Tiga menteri (menteri agama, menteri dalam negeri, dan jaksa agung) Nomor 3 Tahun 2008 tentang Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, dan peraturan daerah yang diskriminatif berlandaskan keyakinan tertentu.
Menurutnya, KontraS juga mencatat selama lima tahun pertama pemerintahan Joko Widodo, terjadi 1.384 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat. Tren pelanggaran ini semakin tinggi pada jenis pembubaran paksa demonstrasi dan razia buku .
"Ini adalah salah satu PR dari rezim ke rezim yang memang sulit sekali rasanya atau enggan bagi negara untuk memperbaiki kondisi tersebut," ujar Rifandi.
Peneliti KontraS Danu Pratama Aulia menyoroti pemerintahan periode pertama Joko Widodo yang masih mempraktekkan hukuman mati. Dia menambahkan secara global ada kecenderungan negara-negara menghapus hukuman mati karena dinilai tidak manusiawi.
Dia menambahkan sebenarnya Indonesia sudah meratifikasi Konvenan Sipil dan Politik. Dalam Pasal 4 Kovenan Sipil dan Politik disebutkan hak untuk hidup adalah hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun.
Danu mengakui penghapusan hukuman mati memang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Tapi dia mengharapkan pemerintah membuat arah kebijakan nasional menuju penghapusan hukuman mati. Sayangnya hal itu tidak terlihat di periode pertama pemerintahan Joko Widodo.
Mantan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ifdhal Kasim menegaskan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan menjadi prioritas presiden Jokowi pada periode keduanya. Tentu nantinya, kata Ifdal, kasus-kasus tersebut akan diserahkan ke Jaksa Agung untuk diteliti lebih lanjut.
Makanya, lanjut Iqbal, dalam memilih Jaksa Agung, Jokowi nanti akan melihat konsep dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
“Nah, dia harus berani. Berani menyidik kasus itu. Dan kalau memang tidak memiliki barang bukti dan sebagainya, dia harus berani mengeluarkan surat SP3 karena kewenangan itu ada di Kejaksaan Agung. Sampai sekarang tidak berani. Dia hanya mengatakan ke media kasus ini kurang,“ lanjut Ifdal.
Sementara soal perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan serta berekspresi, kata Ifdal presiden Jokowi sangat berkomitmen. [fw/em]