JAKARTA —
Pemerintah Indonesia mengirim delegasi yang dipimpin Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Denny Indrayana ke Belanda, untuk mempelajari prosedur ratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar menyatakan langkah pemerintah tersebut bisa menjadi catatan yang positif untuk pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tinggal sekitar satu tahun lagi.
Jika ratifikasi tentang Mahkamah Pidana Internasional telah dilakukan, ujar Haris, maka pemerintah harus segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum 2002, seperti pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh saat operasi militer maupun pelanggaran di Papua serta yang lainnya.
Jika tidak, tambahnya, maka para pelaku dapat dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) juga dapat memeriksa kasus-kasus kejahatan masa lalu yang bersifat berkelanjutan dan tidak memiliki status kadaluarsa seperti kasus penghilangan orang secara paksa, ujar Haris.
“ICC tidak bisa berlaku mundur, tidak bisa diberlakukan untuk kejahatan yang terjadi sebelum 2002. Tetapi untuk kejahatan-kejahatan yang masih berlangsung seperti kasus orang hilang masuk kategori kejahatan yang masih berkelanjutan. Selama orang itu belum ditemukan kayak penculikan aktivis 97/98, kasus Tanjung Priok, Talang Sari, Peristiwa 65, itu semua ada kasus orang hilangnya, itu masih bisa jadi ranah investigasinya ICC,” ujar Haris.
Haris menyatakan Mahkamah Pidana Internasional tidak akan mengintervensi proses hukum dan proses pengadilan di Indonesia karena mereka hanya bertindak ketika negara tidak mau dan tidak mampu melaksanakan kewajiban penghukuman terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan.
Ratifikasi ini, kata Haris sangat penting buat Indonesia untuk mencegah terjadinya impunitas atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti yang terjadi saat ini.
ICC adalah pengadilan yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan memiliki yurisdiksi universal terhadap kejahatan-kejahatan luar biasa yang terjadi di negara mana pun. Kejahatan luar biasa tersebut seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan satu lagi yang masih kontroversial, kejahatan agresi.
Konsekuensi ratifikasi ini adalah perlunya harmonisasi semua regulasi terkait HAM.
Sementara itu, Kepala Direktorat Kerjasama Internasional Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra menjelaskan ratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional sudah masuk dalam rencana aksi nasional hak asasi manusia (RANHAM) periode 2011- 2014.
“Diharapkan pada 2013 ratifikasi tentang Mahkamah Pidana Internasional sudah bisa dilakukan,” ujarnya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar menyatakan langkah pemerintah tersebut bisa menjadi catatan yang positif untuk pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tinggal sekitar satu tahun lagi.
Jika ratifikasi tentang Mahkamah Pidana Internasional telah dilakukan, ujar Haris, maka pemerintah harus segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum 2002, seperti pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh saat operasi militer maupun pelanggaran di Papua serta yang lainnya.
Jika tidak, tambahnya, maka para pelaku dapat dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) juga dapat memeriksa kasus-kasus kejahatan masa lalu yang bersifat berkelanjutan dan tidak memiliki status kadaluarsa seperti kasus penghilangan orang secara paksa, ujar Haris.
“ICC tidak bisa berlaku mundur, tidak bisa diberlakukan untuk kejahatan yang terjadi sebelum 2002. Tetapi untuk kejahatan-kejahatan yang masih berlangsung seperti kasus orang hilang masuk kategori kejahatan yang masih berkelanjutan. Selama orang itu belum ditemukan kayak penculikan aktivis 97/98, kasus Tanjung Priok, Talang Sari, Peristiwa 65, itu semua ada kasus orang hilangnya, itu masih bisa jadi ranah investigasinya ICC,” ujar Haris.
Haris menyatakan Mahkamah Pidana Internasional tidak akan mengintervensi proses hukum dan proses pengadilan di Indonesia karena mereka hanya bertindak ketika negara tidak mau dan tidak mampu melaksanakan kewajiban penghukuman terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan.
Ratifikasi ini, kata Haris sangat penting buat Indonesia untuk mencegah terjadinya impunitas atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti yang terjadi saat ini.
ICC adalah pengadilan yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan memiliki yurisdiksi universal terhadap kejahatan-kejahatan luar biasa yang terjadi di negara mana pun. Kejahatan luar biasa tersebut seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan satu lagi yang masih kontroversial, kejahatan agresi.
Konsekuensi ratifikasi ini adalah perlunya harmonisasi semua regulasi terkait HAM.
Sementara itu, Kepala Direktorat Kerjasama Internasional Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra menjelaskan ratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional sudah masuk dalam rencana aksi nasional hak asasi manusia (RANHAM) periode 2011- 2014.
“Diharapkan pada 2013 ratifikasi tentang Mahkamah Pidana Internasional sudah bisa dilakukan,” ujarnya.