Orang tua korban semanggi I Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan), Sumarsih kecewa dengan kebijakan Presiden Joko Widodo dalam penegakan HAM. Penyebabnya Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional HAM 2021-2025 yang diteken 8 Juni 2021 tidak menyinggung soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Kata Sumarsih, kebijakan ini semakin menegaskan ketidakseriusan Jokowi dalam menuntaskan pelanggaran HAM. Sebab, sebelumnya Jokowi juga mengangkat sejumlah terduga pelanggar HAM sebagai pejabat negara.
"Saya sangat prihatin ketika tutur kata Pak Jokowi akan menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Tapi tindakannya tidak sesuai dengan menerbitkan Perpres RANHAM 2021-2025," jelas Sumarsih dalam konferensi pers daring, Rabu (23/6/2021).
Sumarsih mengatakan akan terus berjuang menuntut pertanggungjawaban negara dalam pelanggaran HAM berat masa lalu. Ia beralasan penegakan dan pemenuhan HAM sudah dijamin dalam konstitusi Indonesia.
Seorang korban kekerasan peristiwa 1965 Bejo Untung mengatakan akan menggugat negara karena tidak menepati janji dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Menurutnya, gugatan tersebut akan disusun bersama LSM yang memiliki perhatian terhadap pemenuhan HAM.
"Mari kita lakukan rencana semula yaitu melakukan gugatan warga atau class action. Bahwa negara ternyata tidak menyelesaikan janji dan bahkan melawan komitmen awal," tutur Bejo Untung.
Bejo menuturkan kehidupan para korban peristiwa 1965 cukup sulit baik secara ekonomi maupun kesehatan. Karena itu, kata dia, para korban berharap ada solusi dari pemerintah pada masa kepemimpinan Jokowi. Namun, menurutnya harapan tersebut masih belum terpenuhi hingga kini.
Komnas HAM Sesalkan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu
Senada Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyayangkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak masuk dalam RANHAM 2021-2025. Menurutnya, RANHAM tersebut penting sebagai dasar pemenuhan HAM dan penegakan kasus pelanggaran HAM berat.
"Terkait dengan korban, saya kira pemerintah harus memastikan bahwa RANHAM yang ada itu sudah menjamin pemulihan maupun pemenuhan hak-hak korban," jelas Beka kepada VOA, Rabu (23/6/2021) malam.
Beka mengatakan pemerintah semestinya juga memberi layanan psikologi bagi korban untuk pemulihan trauma. Sebab, mereka selama ini mendapat stigma dan dipinggirkan dari kehidupan sosial masyarakat.
KSP Bantah Abaikan Pelanggaran HAM Berat
Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pemerintah sedang berupaya memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran berat melalui kebijakan khusus. Kebijakan ini sedang dilakukan Menko Polhukam dan Wakil Menteri Hukum dan HAM sesuai instruksi Presiden Jokowi.
"Kebijakan ini akan difokuskan pada pemenuhan hak-hak korban (victim centered) sebagaimana diatur dalam peraturan-peraturan yang ada dan norma HAM internasional, seperti pemulihan atau reparasi, kebenaran, serta jaminan ketidakberulangan," jelas Jaleswari melalui keterangan tertulis kepada VOA, Rabu (23/6/2021).
Jaleswari menambahkan kebijakan penanganan pelanggaran HAM berat akan diselesaikan melalui mekanisme yang bersifat adhoc dan khusus seperti yang dilakukan sejumlah negara. Hal tersebut berbeda dengan RANHAM yang bersifat permanen dan berkesinambungan.
"Namun demikian, Perpres 53/2021 ini juga membuka ruang peninjauan kembali terkait kelompok sasaran bila dirasa perlu berdasarkan hasil evaluasi dan kebijakan pemerintah, sebagaimana diatur pada Pasal 3," tambahnya.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021-2025 pada 8 Juni 2021. RANHAM 2021-2025 ini merupakan kelanjutan dari empat RANHAM sebelumnya yang dikeluarkan sejak generasi RANHAM pertama (1999-2003).
Menurut Jaleswari, RANHAM generasi kelima ini mengupayakan afirmasi kepada empat kelompok sasaran yaitu perempuan, anak, disabilitas, dan masyarakat adat yang selama ini kurang mendapatkan manfaat pembangunan secara maksimal. [sm/em]