Pada usia 72 tahun, Sri Sulistyawati masih ingat hari ketika dua orang tentara Indonesia meletakkan papan kayu di atas perutnya dan menggunakan tubuhnya sebagai papan jungkat jungkit, sebelum ia pingsan karena kesakitan dan pendarahan di dalam.
Kisah hidupnya merupakan catatan kaki yang hilang dalam salah satu kekejaman paling berdarah pada abad lalu, dimana antara 500.000 dan 2 juta orang yang disangka komunis meninggal dalam pembantaian pada 1965 dan 1966 di bawah komando Jenderal Soeharto.
Setelah disapu ke bawah meja selama hampir 50 tahun lalu, kekejaman tersebut pada tahun ini diakui oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang memberikan sedikit pelipur lara bagi korban-korban seperti Sulistyawati, dengan rasa luka dan aib yang telah diabaikan selama puluhan tahun.
Komnas HAM mengumumkan Juli lalu bahwa lembaga tersebut telah menemukan bukti pelanggaran HAM berat yang meluas di seluruh negeri selama pembantaian tersebut.
Laporan tersebut, didasarkan pada penyelidikan selama tiga tahun dan testimoni 349 saksi, mendesak para pejabat militer untuk diadili atas kejahatan yang termasuk pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penggusuran paksa, penyiksaan dan perkosaan massal.
Laporan tersebut menuntuk pemerintah untuk meminta maaf dan memberikan kompensasi pada para korban dan keluarganya – sebuah langkah yang menurut pemerintah akan dilakukan meski ada resistensi dari para komandan militer yang sudah pensiun dan organisasi Muslim terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama.
Sulistyawati tinggal di rumah jompo berlantai dua di Jakarta bersama dengan penyintas lain, sebagian besar perempuan berusia antara 70-90 tahun.
“Mereka mengikat lengan dan kaki saya dengan tali dan menyeret saya dengan wajah menghadap tanah selama satu kilometer menuju salah satu pos militer,” kenang Sulistyawati, yang kesalahannya adalah karena ia bekerja sebagai jurnalis untuk surat kabar nasional yang mendukung Presiden Soekarno.
Pembantaian tersebut berakar pada politik Perang Dingin yang tegang yang menandai tahun-tahun terakhir pemerintahan Soekarno. Ia telah membina Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai kekuatan politik untuk menyeimbangkan kekuatan organisasi agama massal dan jenderal-jenderal pro-Barat.
Keseimbangan yang rentan ini tumbang pada September 1965 dengan adanya kudeta, yang dengan cepat dipersalahkan pada PKI. Namun beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa militer mengatur pemberontakan tersebut untuk memperkuat kekuasaan dan menghapus komunisme dari negara ini.
Mimpi Bertemu Anak-Anak
Setelah bertahan selama empat tahun dalam tahanan dan menjalani penyiksaan, termasuk kejutan listrik dan pencabutan kuku, karena dituduh memiliki hubungan dengan pihak komunis, Lukas Tumiso pada 1969 dikirim ke kamp buruh paksa di Pulau Buru.
Ia tinggal di sana selama 10 tahun kemudian, bersama dengan 10.000 tahanan lainnya.
“Di sana kita membangun sendiri penjara kita, gubuk bambu tempat kita tidur malam hari. Kita juga membangun sendiri peradaban kita di sana,” ujar Lukas, yang saat ini berusia 73 tahun, pada kantor berita AFP.
Ia menambahkan bahwa pulau tersebut dulu berupa rawa dan hutan. Selain membuka hutan dengan tangan kosong untuk menanam padi dan singkong, para tahanan juga membangun jalan, bendungan dan selokan, di bawah pengawasan militer yang ketat, ujarnya.
Dalam salah satu wawancara dengan Komnas HAM, salah seorang penyintas mengatakan bahwa ia dipenjara dengan ratusan tahanan lainnya dalam ruangan sempit berukuran 5 meter x 25 meter.
“Itu adalah tempat di mana para tahanan pelan-pelan dibunuh. Banyak yang hanya bertahan selama beberapa bulan. Sekitar selusin orang mati tiap malam,” ujar saksi tersebut, yang dipenjara selama 12 tahun di Pulau Kemarau, Sumatra, bersama istrinya.
Setelah laporan Komnas HAM dirilis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti penemuan tersebut.
Bagi para korban seperti Sulistyawati, permintaan maaf secara resmi akan memberikan semacam pelipur lara, meski terlambat puluhan tahun.
"Orang-orang harus tahu bahwa kami tidak bersalah, kami tidak melakukan kesalahan apa pun. Perbaikilah reputasi kami, kami bukan sampah manusia,” ujarnya.
Bagi yang lainnya, seperti Lestari, 81, yang sudah ompong dan bungkuk karena umur, ada harapan bahwa permintaan maaf secara publik akan memenuhi mimpinya untuk bertemu kembali dengan anak-anaknya.
Pada 1979, ketika ia dibebaskan dari penjara setelah mendekam selama 11 tahun karena menjadi aktivis hak perempuan di bawah payung PKI, kelima anaknya menolak menerimanya.
“Setelah dibebaskan dari penjara, saya langsung pergi bertemu anak-anak saya. Tapi mereka menolak tinggal bersama saya. Mereka takut dicap komunis,” ujarnya.
“Dalam mimpi-mimpi saya, saya selalu melihat diri saya berkumpul kembali dengan anak-anak,” ujar Lestari.
Suami Lestari sendiri adalah salah satu pemimpin partai, dan meninggal di sel ketika menunggu perintah eksekusi. Anak perempuannya yang berusia empat tahun tewas terbunuh ketika tentara merazia rumahnya untuk menangkapnya.
Dekade Penuh Diskriminasi
Selama pemerintahan Soeharto, orang-orang yang diduga memiliki hubungan dengan PKI menderita stigmatisasi dan diskriminasi selama berdekade lamanya. Mereka tidak bisa menjadi pegawai negeri, guru atau anggota dewan perwakilan.
Setelah Soeharto turun dari pemerintahan pada 1998, pemerintahan yang baru menghapus beberapa peraturan anti-komunis. Namun menyebarkan ideologi tersebut masih dianggap kejahatan.
Penasihat presiden Albert Hasibuan mengatakan pada April lalu bahwa Presiden Yudhoyono berniat meminta maaf kepada keluarga dan korban pelanggaran HAM di masa silam, termasuk pembantaian anti-komunis, sebelum periode pemerintahannya berakhir pada 2014.
Namun para purnawirawan komandan militer dan organisasi-organisasi termasuk Nahdlatul Ulama (NU), yang diduga terlibat dalam pembantaian tersebut, telah menolak meminta maaf.
Wakil ketua NU As'ad Said Ali mengatakan pada Agustus bahwa kartu-kartu identitas dari mantan tersangka PKI telah dihapus dari sejarah masa lalu mereka.
“Mereka tidak bisa meminta lebih dari yang pantas diberikan. Tanda keterlibatan mereka telah dihapus dari kartu tanda penduduk, dan beberapa cucu mereka sekarang telah menjadi anggota dewan,” ujar As’ad.
"Kita dapat memaafkan mereka namun tidak dapat melupakannya. Bagi kami, ini adalah harga yang tidak dapat ditawar: Tidak ada permintaan maaf atau kompensasi." (AFP/Presi Mandari)
Kisah hidupnya merupakan catatan kaki yang hilang dalam salah satu kekejaman paling berdarah pada abad lalu, dimana antara 500.000 dan 2 juta orang yang disangka komunis meninggal dalam pembantaian pada 1965 dan 1966 di bawah komando Jenderal Soeharto.
Setelah disapu ke bawah meja selama hampir 50 tahun lalu, kekejaman tersebut pada tahun ini diakui oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang memberikan sedikit pelipur lara bagi korban-korban seperti Sulistyawati, dengan rasa luka dan aib yang telah diabaikan selama puluhan tahun.
Komnas HAM mengumumkan Juli lalu bahwa lembaga tersebut telah menemukan bukti pelanggaran HAM berat yang meluas di seluruh negeri selama pembantaian tersebut.
Laporan tersebut, didasarkan pada penyelidikan selama tiga tahun dan testimoni 349 saksi, mendesak para pejabat militer untuk diadili atas kejahatan yang termasuk pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penggusuran paksa, penyiksaan dan perkosaan massal.
Laporan tersebut menuntuk pemerintah untuk meminta maaf dan memberikan kompensasi pada para korban dan keluarganya – sebuah langkah yang menurut pemerintah akan dilakukan meski ada resistensi dari para komandan militer yang sudah pensiun dan organisasi Muslim terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama.
Sulistyawati tinggal di rumah jompo berlantai dua di Jakarta bersama dengan penyintas lain, sebagian besar perempuan berusia antara 70-90 tahun.
“Mereka mengikat lengan dan kaki saya dengan tali dan menyeret saya dengan wajah menghadap tanah selama satu kilometer menuju salah satu pos militer,” kenang Sulistyawati, yang kesalahannya adalah karena ia bekerja sebagai jurnalis untuk surat kabar nasional yang mendukung Presiden Soekarno.
Pembantaian tersebut berakar pada politik Perang Dingin yang tegang yang menandai tahun-tahun terakhir pemerintahan Soekarno. Ia telah membina Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai kekuatan politik untuk menyeimbangkan kekuatan organisasi agama massal dan jenderal-jenderal pro-Barat.
Keseimbangan yang rentan ini tumbang pada September 1965 dengan adanya kudeta, yang dengan cepat dipersalahkan pada PKI. Namun beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa militer mengatur pemberontakan tersebut untuk memperkuat kekuasaan dan menghapus komunisme dari negara ini.
Mimpi Bertemu Anak-Anak
Setelah bertahan selama empat tahun dalam tahanan dan menjalani penyiksaan, termasuk kejutan listrik dan pencabutan kuku, karena dituduh memiliki hubungan dengan pihak komunis, Lukas Tumiso pada 1969 dikirim ke kamp buruh paksa di Pulau Buru.
Ia tinggal di sana selama 10 tahun kemudian, bersama dengan 10.000 tahanan lainnya.
“Di sana kita membangun sendiri penjara kita, gubuk bambu tempat kita tidur malam hari. Kita juga membangun sendiri peradaban kita di sana,” ujar Lukas, yang saat ini berusia 73 tahun, pada kantor berita AFP.
Ia menambahkan bahwa pulau tersebut dulu berupa rawa dan hutan. Selain membuka hutan dengan tangan kosong untuk menanam padi dan singkong, para tahanan juga membangun jalan, bendungan dan selokan, di bawah pengawasan militer yang ketat, ujarnya.
Dalam salah satu wawancara dengan Komnas HAM, salah seorang penyintas mengatakan bahwa ia dipenjara dengan ratusan tahanan lainnya dalam ruangan sempit berukuran 5 meter x 25 meter.
“Itu adalah tempat di mana para tahanan pelan-pelan dibunuh. Banyak yang hanya bertahan selama beberapa bulan. Sekitar selusin orang mati tiap malam,” ujar saksi tersebut, yang dipenjara selama 12 tahun di Pulau Kemarau, Sumatra, bersama istrinya.
Setelah laporan Komnas HAM dirilis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti penemuan tersebut.
Bagi para korban seperti Sulistyawati, permintaan maaf secara resmi akan memberikan semacam pelipur lara, meski terlambat puluhan tahun.
"Orang-orang harus tahu bahwa kami tidak bersalah, kami tidak melakukan kesalahan apa pun. Perbaikilah reputasi kami, kami bukan sampah manusia,” ujarnya.
Bagi yang lainnya, seperti Lestari, 81, yang sudah ompong dan bungkuk karena umur, ada harapan bahwa permintaan maaf secara publik akan memenuhi mimpinya untuk bertemu kembali dengan anak-anaknya.
Pada 1979, ketika ia dibebaskan dari penjara setelah mendekam selama 11 tahun karena menjadi aktivis hak perempuan di bawah payung PKI, kelima anaknya menolak menerimanya.
“Setelah dibebaskan dari penjara, saya langsung pergi bertemu anak-anak saya. Tapi mereka menolak tinggal bersama saya. Mereka takut dicap komunis,” ujarnya.
“Dalam mimpi-mimpi saya, saya selalu melihat diri saya berkumpul kembali dengan anak-anak,” ujar Lestari.
Suami Lestari sendiri adalah salah satu pemimpin partai, dan meninggal di sel ketika menunggu perintah eksekusi. Anak perempuannya yang berusia empat tahun tewas terbunuh ketika tentara merazia rumahnya untuk menangkapnya.
Dekade Penuh Diskriminasi
Selama pemerintahan Soeharto, orang-orang yang diduga memiliki hubungan dengan PKI menderita stigmatisasi dan diskriminasi selama berdekade lamanya. Mereka tidak bisa menjadi pegawai negeri, guru atau anggota dewan perwakilan.
Setelah Soeharto turun dari pemerintahan pada 1998, pemerintahan yang baru menghapus beberapa peraturan anti-komunis. Namun menyebarkan ideologi tersebut masih dianggap kejahatan.
Penasihat presiden Albert Hasibuan mengatakan pada April lalu bahwa Presiden Yudhoyono berniat meminta maaf kepada keluarga dan korban pelanggaran HAM di masa silam, termasuk pembantaian anti-komunis, sebelum periode pemerintahannya berakhir pada 2014.
Namun para purnawirawan komandan militer dan organisasi-organisasi termasuk Nahdlatul Ulama (NU), yang diduga terlibat dalam pembantaian tersebut, telah menolak meminta maaf.
Wakil ketua NU As'ad Said Ali mengatakan pada Agustus bahwa kartu-kartu identitas dari mantan tersangka PKI telah dihapus dari sejarah masa lalu mereka.
“Mereka tidak bisa meminta lebih dari yang pantas diberikan. Tanda keterlibatan mereka telah dihapus dari kartu tanda penduduk, dan beberapa cucu mereka sekarang telah menjadi anggota dewan,” ujar As’ad.
"Kita dapat memaafkan mereka namun tidak dapat melupakannya. Bagi kami, ini adalah harga yang tidak dapat ditawar: Tidak ada permintaan maaf atau kompensasi." (AFP/Presi Mandari)