Dalam pesan pertamanya yang ditujukan kepada Washington sejak pemilihan presiden AS, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menyatakan tekadnya yang teguh untuk tetap memiliki senjata nuklir, kata para analis AS.
Dalam sebuah konferensi dengan para pejabat militer pada Jumat (15/11) lalu, Kim bersumpah untuk meningkatkan kemampuan nuklir negaranya “tanpa batas”, sambil mengutuk Amerika atas strategi pencegahan nuklirnya dengan Korea Selatan.
“AS, Jepang dan Korea Selatan tidak akan pernah lepas dari tanggung jawab sebagai pelaku perusak perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea dan kawasan ini. Tugas paling penting dan kritis bagi angkatan bersenjata kami adalah persiapan untuk perang,” ujar Kim, sebagaimana dilaporkan oleh Kantor berita Korea Utara (KCNA).
Retorika nuklir
Evans Revere, mantan penjabat asisten menteri luar negeri AS untuk urusan Asia Timur dan Pasifik, menafsirkan pernyataan Kim, yang dibuat 10 hari setelah pemilu, sebagai pesan yang ditujukan kepada presiden terpilih Donald Trump, yang ia temui secara langsung sebanyak tiga kali pada tahun 2018 hingga 2019.
“Kim Jong Un menjelaskan kepada presiden terpilih Trump bahwa segalanya telah berubah sejak pertemuan mereka sebelumnya,” kata Revere kepada VOA melalui email, pada Selasa (19/11). “Pyongyang secara de facto telah menjadi negara yang memiliki senjata nuklir dan tidak akan menyerahkan pedang berharganya, sebutan yang pernah mereka gunakan, sebagai penangkal nuklirnya.”
Pembicaraan nuklir antara Presiden Trump saat itu dan pemimpin tertinggi Korea Utara tersebut menemui jalan buntu saat keduanya bertemu di Hanoi pada bulan Februari 2019, setelah Trump menolak pencabutan sanksi sebagai imbalan atas tawaran Kim untuk membongkar satu fasilitas nuklir besar.
Sejak itu, Pyongyang tidak memperlambat peningkatan kemampuan nuklirnya. Dalam salah satu langkah terbarunya, hanya lima hari sebelum pemilu AS, rezim tersebut melakukan uji coba rudal balistik antarbenua baru yang disebut Hwasong-19 yang berpotensi mencapai sebagian besar daratan AS.
Aliansi baru
Joseph DeTrani, mantan utusan khusus AS untuk perundingan denuklirisasi enam negara dengan Korea Utara, mengatakan Kim masih ingin bertemu dengan Trump, namun persyaratannya kali ini akan sangat berbeda.
“Saya pikir Kim Jong Un terbuka untuk berdialog dengan pemerintahan Presiden terpilih Trump, setelah masa jabatan Trump dimulai,” kata DeTrani kepada VOA melalui email.
DeTrani mengatakan Kim akan menghadiri pertemuan puncak lainnya dengan Trump “dengan posisi yang kuat,” mengingat aliansi dan perjanjian pertahanannya dengan Rusia. Rusia dan Korea Utara telah berkomitmen untuk membantu satu sama lain jika diserang.
Namun, sebagian pakar lainnya memperingatkan agar tidak membaca terlalu dalam apa yang Kim katakan.
Sydney Seiler, mantan perwira intelijen nasional untuk Korea Utara di Dewan Intelijen Nasional AS, mengatakan pernyataan terbaru Kim memberikan sedikit wawasan tentang bagaimana Kim dapat menangani pemerintahan Trump yang akan datang.
“Kim Jong Un sedang menjajaki manfaat yang bisa didapat dengan menjadi anggota aktif dari ‘poros pergolakan’ negara-negara seperti Rusia, China, Korea Utara, dan Iran yang berupaya untuk membatalkan tatanan berbasis aturan yang ada; dan membenarkan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka,” ujar Seiler kepada VOA melalui email pada hari Selasa.
Ia menambahkan Kim telah mulai menikmati manfaat dalam kerja samanya dengan Rusia yaitu bantuan uang tunai, makanan dan bahan bakar, senjata pemusnah massal, dan kemampuan konvensional, serta pengakuan diplomatik dan penerimaan status nuklir Korea Utara.
“Apa untungnya dia menghubungi Donald Trump di saat dia memiliki teman seperti Vladimir Putin?” tanya Seiler.
Kim dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada bulan Juni lalu menandatangani perjanjian kemitraan strategis komprehensif, yang menyerukan Rusia dan Korea Utara untuk segera saling membantu secara militer jika salah satu dari mereka diserang oleh negara ketiga. Rusia dan Korea Utara masing-masing meratifikasi perjanjian tersebut menjadi undang-undang awal bulan ini.
Gary Samore, mantan koordinator Gedung Putih untuk pengendalian senjata dan senjata pemusnah massal, mengatakan kepada VOA bahwa Kim tidak membutuhkan bantuan dan keringanan sanksi dari Trump seperti dulu karena aliansi barunya dengan Putin.
Samore mengatakan pertemuan Trump-Kim lainnya tidak akan menjadi agenda utama Trump.
“Masalah kebijakan luar negeri utama Trump adalah mengakhiri perang di Ukraina dan Timur Tengah, serta mengenakan tarif terhadap China,” katanya. “Sebaliknya, situasi Korea cukup stabil dan tenang, dan tidak ada yang mengira pertemuan puncak Trump-Kim akan menghasilkan hasil yang besar.”
VOA juga mengajukan pertanyaan kepada Departemen Luar Negeri AS tentang pesan terbaru Kim kepada AS, namun hingga laporan ini diterbitkan belum menerima jawaban.
Sebagai tanggapan terhadap penyelidikan yang dilakukan oleh VOA awal bulan ini, juru bicara Departemen Luar Negeri AS menegaskan kembali komitmen AS untuk melindungi Korea Selatan dari serangan nuklir Korea Utara.
“Presiden Biden menegaskan kembali komitmen pencegahan yang diperluas terhadap Korea Selatan dengan menggunakan seluruh kemampuan pertahanan AS, termasuk kemampuan pertahanan nuklir, konvensional, dan rudal, dan bahwa setiap serangan nuklir oleh DPRK terhadap Korea Selatan akan ditanggapi dengan serangan yang cepat dan luar biasa. dan tanggapan tegas,” tegas juru bicara Deplu AS. [em/jm]
Forum