Seorang anak perempuan berinisial NV (14 tahun) diduga mengalami kekerasan seksual oleh oknum (pendamping) di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur.
NV dititipkan ayahnya di P2TP2A sejak 10 April 2020 untuk mendapatkan rehabilitasi psikologis sebagai korban kekerasan seksual yang dilakukan pamannya sendiri pada 2019. Alih-alih mendapatkan rehabilitasi psikologis secara baik, penderitaan korban justru ditambah dengan adanya kekerasan seksual di lembaga yang seharusnya memberikan perlindungan terhadapnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menyayangkan kejadian tersebut. Menurutnya petugas yang seharusnya melindungi anak di tempat aman dan punya harapan kembali pulih karena korban pemerkosaan justru yang melakukan.
Jasra juga mempertanyakan apakah evaluasi terhadap lembaga layanan dan rehabilitasi yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KPPPA) dilakukan karena berdasarkan Peraturan Menteri No.6 tahun 2015 dinyatakan bahwa Kementerian tersebut punya fungsi melakukan evaluasi minimal enam bulan sekali.
Peristiwa ini, lanjutnya, harus menjadi perhatian serius. Menurutnya jangan sampai masyarakat tidak percaya terhadap layanan rehabilitasi perempuan dan anak yang ada. Lembaga ini dinilai sangat penting bagi anak karena menjadi tempat memulihak kondisi anak pasca kejadian memilukan yang menimpa mereka.
“Dengan kasus ini tentu pintu masuk bagi pemerintah daerah untuk melihat lagi layanan ini tentu harus standar terutama SDM. SDM nya harus SDM yang terseleksi secara ketat, mengerti dengan kode etik anak,memahami bagaimana cara bekerja dengan anak apalagi ini adalah anak korban, tentu itu harus memiliki keterampilan termasuk keilmuan pasifik terkait menangani anak-anak korban itu” kata Jasra.
Jasra menyarankan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengkaji ulang aturan mengenai rektutmen aparatur sipil negara yang akan bekerja di bidang perlindungan anak. Ini penting agar tidak ada pelaku kejahatan anak di tempat yang seharusnya melindungi anak dari tindak kekerasan. Dia berharap kementerian tersebut bisa mengingatkan manajemen risiko jika memilih petugas dengan sepak terjang yang buruk.
Bupati Diminta Non-Aktifkan Penanggungjawab P2TP2A
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar mengatakan kementeriannya telah meminta Bupati Lampung Timur untuk menonaktifkan secara administrasi. Sementara proses hukum oleh polisi tetap dilakukan.
Untuk mencegah hal serupa terjadi, kementeriannya, kata Nahar, berharap pemerintah daerah segera menyusun rencana dan segera menyesuaikan regulasi dimana pemerintah daerah harus segera mengganti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak.
Diharapkan dengan terbentuk UPTD itu lanjutnya hal-hal seperti yang terjadi di Lampung Timur dapat diminimalisir. “Itu diharapkan semua terstandar dengan biaya yang memadai, perekrutan SDM yang tepat karena SDM yang dibutuhkan ada standarnya juga misalnya dibutuhkan ada psikolog, pendamping hukum, pekerja sosial, dokter dan lain-lain. Kita sedang “mengevaluasi dan mendorong semua daerah membentu UPTD,” Jelas Nahar.
Lebih lanjut Nahar menjelaskan Kementerian Dalam Negeri telah membuat surat edaran agar daerah segera membentuk UPTD. Hal ini penting mencegah layanan-layanan yang tidak terstandar.Sekarang ini UPTD sudah ada di 26 provinsi dan 63 kabupaten dan kota. [fw/em]