Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini telah memutuskan mantan narapidana harus memiliki jeda lima tahun untuk dapat maju dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu melakukan penyesuaian terkait aturan teknis pencalonan karena putusan MK membawa konsekuensi kepada persyaratan administratif calon seperti terpenuhinya syarat masa jeda lima tahun, bukan pelaku tindak pidana berulang serta ketentuan “jujur terbuka” bahwa dirinya adalah mantan narapidana.
Yang paling penting dari putusan MK ini, kata Titi, KPU perlu melakukan pengaturan yang lebih konkrit terkait dengan beberapa hal, khususnya soal persyaratan jujur terbuka yang menyatakan dirinya adalah mantan napi.
Ditambahkannya, selama ini persyaratan “jujur terbuka” dimaknai hanya untuk kebutuhan proses pencalonan saja di mana mantan napi mengumumkan di media massa bahwa dirinya mantan napi, tetapi kemudian pasca hal itu tidak ada ruang sama sekali yang diatur KPU untuk mengimplementasikan persyaratan jujur dan terbuka tersebut.
Titi menilai KPU perlu mengatur persyaratan itu juga pada tahapan-tahapan lain pasca proses pencalonan karena lanjutnya komitmen untuk jujur terbuka ini adalah komitmen yang melekat secara menyeluruh kepada diri mantan napi sehingga publik memperoleh informasi secara baik, melalui berbagai dokumen kampanye atau yang lainnya mengenai profil atau riwayat hidup seorang calon.
Menurutnya ada tiga hal yang publik harus diketahui jika mantan narapidana korupsi ikut pilkada. Pertama, apa yang membuatnya dijatuhi hukuman pidana, berapa lama dan kapan dinyatakan bebas murni.
“Dari pengamatan kami, masyarakat itu selama ini ternyata tidak mendapatkan informasi yang cukup terkait rekam jejak dan informasi berkaitan dengan riwayat hukum para calon. Nah, ini tidak terlepas dari dokumen kampanye yang menyangkut profil calon, sosialisasi KPU yang sangat minim. Kami merekomendasikan KPU memaknai jujur dan terbuka itu termasuk pula mengatur bahwa segala dokumen sosialisasi yang dimiliki KPU terkait dengan profil dan rekam jejak calon itu menyertakan tiga informasi tadi,” kata Titi.
Profil dan Riwayat Hidup Calon Harus Dipasang di TPS
Untuk mewujudkan prinsip ‘’jujur terbuka’’ itu, pada hari pemungutan suara nanti, profil atau riwayat hidup calon yang akan dipilih harus dipasang di TPS. Profil itu harus memuat informasi pribadi, riwayat pendidikan, pekerjaan, visi misi dan juga riwayat hukum calon (jika ada).
Dengan demikian, kalau pun pemilih tetap memutuskan memilih mantan napi, masyarakat sudah memahami konsekuensi atau dampak pilihan yang dibuatnya.
“Ini pembuktian untuk KPU agar tidak dianggap cari popularitas pelarangan mantan napi. Justru komitmen KPU terhadap pilkada berintegritas akan semakin solid dan utuh kalau KPU mau membuat pengaturan yang lebih komprehensif soal pencalonan mantan napi tadi,” ungkap Titi.
Titi menambahkan putusan MK hanya sebagai pembuka jalan untuk merealisasikan pilkada bersih dan tata kelola pemerintahan yang anti-korupsi, tetapi itu semua sepenuhnya tergantung pada parpol dan masyarakat pemilih.
Perilaku koruptif itu, lanjutnya, disumbang oleh banyak hal, misalnya karena praktek politik biaya tinggi akibat besarnya mahar politik yang diberlakukan oleh partai, sehingga calon harus membelanjakan uang secara ilegal untuk mendapatkan tiket pencalonan, dan ini berdampak pada ketika berkuasa pada perilaku untuk mengembalikan modal yang dia telah berlanjakan. Juga masih terus adanya praktik jual beli suara.
Ditemui secara terpisah, Komisioner KPU Evi Novita Ginting Manik mengatakan lembaganya akan menyesuaikan substansi putusan MK dengan melakukan sejumlah perubahan peraturan komisi pemilihan umum (PKPU). “Kami tentu mengikuti segala perkembangan, mendengar dan memperhatikan semua dan kemudian akan kita putuskan,” kata Evi.
MK Ubah Pasal 7 UU No.10/2016 Tentang Pilkada
Mahkamah Konstitusi memutuskan mengubah isi Pasal 7 ayat 2 huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, sehingga calon kepala daerah harus memenuhi sejumlah syarat, salah satunya "eks koruptor boleh maju pilkada setelah lima tahun keluar penjara.
Keputusan MK ini mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, yang diajukan Perludem dan Indonesia Corruption Watch. (fw/em)