Kampanye, rapat umum dan spanduk – tanda-tanda umum pemilu – tidak terlihat di ibukota Bangladesh, Dhaka. Semua itu tidak terlalu dibutuhkan.
Meskipun partai-partai oposisi memboikot pemilu, kandidat dari partai Liga Awami yang berkuasa telah memenangkan 154 dari 300 kursi parlemen yang diperebutkan, membuat pemilu hari Minggu (5/1) mendatang menjadi tidak berarti.
Profesor Hubungan Internasional di Universitas Dhaka, Imtiaz Ahmed, mengatakan bahkan sebagian bekas aliansi dari partai berkuasa ikut memboikotnya.
“Fakta menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen kursi terisi meskipun tidak ada pemilu yang diadakan dan tidak ada satu suara pun yang diberikan, dan mereka terpilih, itu telah menjadi masalah serius. Mereka terpilih karena hanya ada satu kandidat,” papar Ahmed.
Suasana di kota itu rentan. Kekerasan semakin parah sejak pemilu diumumkan akhir bulan November. Banyak orang tewas dalam protes-protes jalanan.
Tentara telah diterjunkan untuk mencegah kekerasan lebih lanjut. Dhaka secara virtual tertutup dari wilayah lainnya di negara itu karena pihak berwenang telah menghentikan jalur bus, kereta dan ferry yang menghubungkan kota itu untuk mencegah protes-protes jalanan oleh para pendukung oposisi.
Partai-partai oposisi telah menolak untuk berpartisipasi dalam pemilu karena pemerintah mengabaikan praktek sebelumnya yang mengadakan pemilu di bawah pemerintahan sementara. Pemerintah menghapuskan sistem itu dua tahun lalu. Para pengamat politik mengatakan itu mungkin karena kekalahan dalam pemilu lokal mengindikasikan pudarnya dukungan terhadap partai yang berkuasa.
Amerika, Uni Eropa dan negara-negara Persemakmuran telah menolak untuk mengirimkan pengamat pemilu hari Minggu. Mereka mengatakan harus tercipta kondisi pemilu yang transparan dan inklusif dan pemerintah harus memecahkan kebuntuan politik.
Profesor Universitas Dhaka, Amena Mohsin, berharap Perdana Menteri Sheikh Hasina pada akhirnya akan setuju untuk mundur supaya pemerintahan sementara bisa mengadakan pemilu baru.
“Masyarakat internasional telah mengatakan pemilu ini tidak kredibel. Tidak ada yang menanggapinya dengan serius. Semuanya mengira ini hanya solusi sementara. Saya rasa tekanan internasional dan meningkatnya kekerasan akan memaksa Perdana Menteri Sheikh Hasina untuk mengambil langkah-langkah ini,” ulas Mohsin.
Ketegangan politik mengenai pemilu itu muncul di tangah meningkatnya ketegangan di negara itu mengenai pengadilan kejahatan perang yang telah memvonis mati beberapa pemimpin Islamis atas peran mereka dalam perang kemerdekaan tahun 1971.
Polarisasi politik bukan hal baru bagi Bangladesh. Dua partai utama di negara itu dipimpin oleh perempuan, Perdana Menteri Sheikh Hasina dan pemimpin oposisi Khaleda Zia, yang persaingannya telah membayangi politik di negara itu selama beberapa dasawarsa. Tetapi para pengamat politik mengatakan krisis sekarang ini termasuk yang paling serius yang pernah dihadapi negara itu.
Meskipun partai-partai oposisi memboikot pemilu, kandidat dari partai Liga Awami yang berkuasa telah memenangkan 154 dari 300 kursi parlemen yang diperebutkan, membuat pemilu hari Minggu (5/1) mendatang menjadi tidak berarti.
Profesor Hubungan Internasional di Universitas Dhaka, Imtiaz Ahmed, mengatakan bahkan sebagian bekas aliansi dari partai berkuasa ikut memboikotnya.
“Fakta menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen kursi terisi meskipun tidak ada pemilu yang diadakan dan tidak ada satu suara pun yang diberikan, dan mereka terpilih, itu telah menjadi masalah serius. Mereka terpilih karena hanya ada satu kandidat,” papar Ahmed.
Suasana di kota itu rentan. Kekerasan semakin parah sejak pemilu diumumkan akhir bulan November. Banyak orang tewas dalam protes-protes jalanan.
Tentara telah diterjunkan untuk mencegah kekerasan lebih lanjut. Dhaka secara virtual tertutup dari wilayah lainnya di negara itu karena pihak berwenang telah menghentikan jalur bus, kereta dan ferry yang menghubungkan kota itu untuk mencegah protes-protes jalanan oleh para pendukung oposisi.
Partai-partai oposisi telah menolak untuk berpartisipasi dalam pemilu karena pemerintah mengabaikan praktek sebelumnya yang mengadakan pemilu di bawah pemerintahan sementara. Pemerintah menghapuskan sistem itu dua tahun lalu. Para pengamat politik mengatakan itu mungkin karena kekalahan dalam pemilu lokal mengindikasikan pudarnya dukungan terhadap partai yang berkuasa.
Amerika, Uni Eropa dan negara-negara Persemakmuran telah menolak untuk mengirimkan pengamat pemilu hari Minggu. Mereka mengatakan harus tercipta kondisi pemilu yang transparan dan inklusif dan pemerintah harus memecahkan kebuntuan politik.
Profesor Universitas Dhaka, Amena Mohsin, berharap Perdana Menteri Sheikh Hasina pada akhirnya akan setuju untuk mundur supaya pemerintahan sementara bisa mengadakan pemilu baru.
“Masyarakat internasional telah mengatakan pemilu ini tidak kredibel. Tidak ada yang menanggapinya dengan serius. Semuanya mengira ini hanya solusi sementara. Saya rasa tekanan internasional dan meningkatnya kekerasan akan memaksa Perdana Menteri Sheikh Hasina untuk mengambil langkah-langkah ini,” ulas Mohsin.
Ketegangan politik mengenai pemilu itu muncul di tangah meningkatnya ketegangan di negara itu mengenai pengadilan kejahatan perang yang telah memvonis mati beberapa pemimpin Islamis atas peran mereka dalam perang kemerdekaan tahun 1971.
Polarisasi politik bukan hal baru bagi Bangladesh. Dua partai utama di negara itu dipimpin oleh perempuan, Perdana Menteri Sheikh Hasina dan pemimpin oposisi Khaleda Zia, yang persaingannya telah membayangi politik di negara itu selama beberapa dasawarsa. Tetapi para pengamat politik mengatakan krisis sekarang ini termasuk yang paling serius yang pernah dihadapi negara itu.