Janji masa depan yang cerah, yang mencuat ketika Sudan Selatan merdeka pada Juli 2011, berubah menjadi muram setelah lebih dari dua tahun perang saudara. Lebih dari 1,5 juta orang menjadi pengungsi di dalam negeri dan setidaknya 750 ribu lari ke negara-negara tetangga untuk mencari perlindungan.
Menambah penderitaan itu, PBB memperkirakan, 2,8 juta orang Sudan Selatan, hampir 25 persen penduduk negara itu, akan kelaparan dan membutuhkan bantuan. Dari jumlah itu, menurut PBB, setidaknya 40 ribu orang tinggal di daerah yang terimbas konflik di Negara Kesatuan dan daerah-daerah lain yang sulit dijangkau berada di ambang bencana.
Kepada VOA, juru bicara Program Pangan Dunia (WFP) Bettina Luescher mengatakan anak-anak sangat rentan.
Ia mengatakan anak-anak yang tidak mendapat cukup pangan dalam 1.000 hari pertama kehidupan akan menderita konsekuensi jangka panjang. Mereka yang tidak mati, menurutnya, akan menderita gangguan fisik dan mental.
"Sangat penting, bantuan kami sampai ke orang-orang itu sebelum terlambat. Ada laporan-laporan yang kami terima, di beberapa daerah, orang bertahan hidup dengan makan ikan dan bunga teratai, dan sekarang musim kemarau akan datang bahkan satu-satunya makanan, bunga teratai, akan lenyap karena sungai akan kering," kata Luescher.
Organisasi Pangan dan Pertanian serta dana anak-anak PBB bersama WFP mengimbau pihak-pihak yang bertikai agar segera melaksanakan perjanjian perdamaian yang mereka tandatangani tahun lalu. Mereka mengimbau akses yang tidak dibatasi ke daerah konflik guna mengirim bantuan ke daerah yang paling terimbas.
Menurut mereka, adalah penting untuk mengizinkan mereka menyiapkan pasokan pangan dan bantuan lain dalam musim kemarau ini. Mereka mengatakan, itu akan memungkinkan mereka terus membantu penduduk manakala ruas-ruas jalan tidak bisa dilalui begitu hujan tiba. [ka/ds]