Perlambatan pertumbuhan ekonomi di banyak negara, fragmentasi kebijakan ekonomi global, ketegangan geopolitik dan berbagai kebijakan yang diambil pemangku ekonomi di negara-negara tersebut; ikut menimbulkan dampak pada Indonesia. Meskipun demikian Komite Stabilitas Sistem Keuangan KSSK memastikan perbaikan ekonomi domestik terus berlanjut dan secara keseluruhan stabilitas sistem keuangan berada dalam kondisi “resilient” atau kuat.
Komite yang diketuai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (3/11) mengatakan pemulihan ekonomi domestik itu ditopang dengan “aggregate demand” berupa masih kuatnya konsumsi swasta di tengah lonjakan inflasi, investasi non-pembangunan dan kinerja ekspor. Pemulihan ekonomi, lanjutnya, tampak pada sektor perdagangan, pertambangan, dan pertanian. Dari sisi permintaan, konsumen masih cukup kuat, ekspor masih baik, dan dari sisi lapangan usaha menunjukkan kinerja masih baik.
“Pada bulan Oktober 2022, PMI manufaktur Indonesia masih masuk di dalam zona ekspansif di level 51,8. Pada Septermber 2022 Indeks Penjualan Rill (IPR) tumbuh 5,5 persen (yoy), sementara indeks keyakinan konsumen juga masih menunjukan persepsi konsumen yang ekspansif yaitu di level 117,2,” ujar Sri Mulyani.
Ditambahkannya, inflasi lebih rendah dari perkiraan awal, terutama setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Indeks Inflasi Harga Konsumen (IHK) bulan lalu tercatat di level 5,71 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, dan sedikit lebih rendah ketimbang September yakni 5,95 persen.
Sri Mulyani menggarisbawahi bahwa hal ini menunjukkan Indonesia mampu menjaga inflasi dalam level yang moderat. Untuk mengendalikan inflasi, pemerintah pusat dan daerah telah berkoordinasi dan bersinergi dengan Bank Indonesia dan berbagai mitra strategis lain yang tergabung dalam wadah Tim Inflasi Pusat dan Inflasi Daerah.
Pemerintah juga mengkampanyekan gerakan nasional pengendalian inflasi pangan, dan menggunakan instrumen seperti dana insentif daerah untuk memberikan penghargaan kepada daerah-daerah yang terus menjaga dan memperhatikan tingkat inflasi di daerah masing-asing.
BI Fokus pada Kebijakan Moneter
Pada kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan pihaknya tetap memfokuskan kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri, termasuk penahan “kejutan” dari dampak ketidakpastian global. Sejak Agustus lalu, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin menjadi 4,75 persen.
Menurutnya kebijakan tersebut untuk menurunkan ekspektasi tingkat inflasi yang saat ini terlalu tinggi. Kebijakan ini juga untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat semakin kuatnya mata uang dolar Amerika dan besarnya ketidakpastian pasar uang global. Semua negara, kata Perry, mengalami dampak dari menguatnya dolar Amerika.
"Dolar (Amerika) sangat-sangat super kuat. Hingga saat ini, sudah menguat atau apresiasi hampir 20 persen (19 persen). Oleh karena itu, Bank Indonesia melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah dengan intervensi, baik spot maupun forward, bahkan operasi di pasar SBN (surat berharga negara) sekunder agar depresisasi (penurunan nilai tukar) rupiah terjaga," ujar Perry.
Hasilnya, lanjut Perry, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika termasuk yang paling rendah di antara negara lain. Hal ini dilakukan pemerintah agar tidak menyebabkan kenaikan harga di dalam negeri dari harga barang-barang impor.
OJK : Semua Lembaga Jasa Keuangan Harus Perkuat Modal
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menjelaskan lembaganya telah memerintahkan semua lembaga jasa keuangan untuk memperkuat modal dan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Hal itu dilakukan untuk memitigasi risiko melemahnya rupiah dampak dari kenaikan permintaan kredit dalam bentuk valuta asing, terutama dolar Amerika Serikat.
"(OJK akan) meminta lembaga jasa keuangan (LJK) untuk memperkuat memperkuat permodalan dan meningkatkan CKPN untuk bersiap dalam menghadapi skenario yang mungkin lebih buruk akibat kenaikan risiko kredit terhadap pembiayaan, serta meningkatkan buffer likuiditas untuk memitigasi meningkatnya risiko likuiditas,"kata Mahendra.
OJK mendorong perusahaan-perusahaan pembiayaan agar mendiversifikasi sumber pendanaan untuk antisipasi keterkaitan antara ruang likuiditas di sektor perbankan dengan terakselerasinya laju pertumbuhan kredit.
Di sisi lain OJK mendorong bank-bank umum untuk melakukan pemenuhan modal inti sesuai ketentuan yang dapat ditempuh, diantaranya melalui konsolidasi.
INDEF : Pemerintah Harus Terus Optimalkan Pasar Domestik
Diwawancarai VOA, pengamat ekonomi dari Institute of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan sebagai untuk mengantisipasi potensi terjadinya resesi, pemerintah harus mengoptimalkan pasar domestik. Dia khawatir resesi bisa berdampak ke Indonesia jika tidak memiliki strategi untuk mengoptimalkan pasar domestik. Jika terjadi resesi tahun depan, apakah pasar domestik akan kuat menahan gempuran barang-barang dari Amerika dan China yang sama-sama merupakan dua mitra dagang utama Indonesia.
Kalau tidak kuat, barang dari kedua negara itu bisa membanjiri pasar domestik sedangkan barang dalam negeri tidak bisa bersaing dengan produk impor. Dia menegaskan kuncinya adalah produk dalam negeri harus dapat bersaing dengan harga barang impor.
“Karena apa? Harus ada penjagaan. Ekonomi Indonesia di dalam negeri daya belinya masih cukup kuat, sehingga kita harus pastikan mereka harus membeli produk orang Indonesia atau produk yang dibuat di Indonesia. Negara-negara maju yang lagi terkena resesi, bisnisnya lesu, kalau jualan di dalam negerinya sendiri tidak akan laku, dia harus lempar produknya ke negara lain. Ke siapa? Ke negara berkembang, India, Indonesia, beberapa kawasan ASEAN yang masih memiliki growth tinggi, itu yang akan diserang," jelasnya.
Sebagai presidensi G20, Eko berharap Indonesia dapat ikut meredakan ketegangan geopolitik yang terjadi saat ini, yang jelas akan membantu mencegah terjadinya resesi. [fw/em]
Forum