Kampus sering disebut berada di menara gading, karena berjarak dengan masyarakat. Perguruan tinggi di Indonesia memiliki strategi yang khas yang dianggap sebagai kampus untuk turun dari menara itu dan lebih dekat dengan masyarakat, yaitu kuliah kerja nyata (KKN). KKN sudah mengalami banyak perubahan, dan dampaknya semakin signifikan.
Bagi petani seperti Hendro Prasetyo, buah naga adalah jalan rejeki baru seiring popularitasnya di tengah masyarakat. Di Banyuwangi, tempat tinggal Hendro, buah naga bisa dijual dengan harga bagus hingga Rp 30 ribu perkilo. Namun, ketika masa panen tiba, harganya bisa anjlok karena buah melimpah di pasaran.
“Kalau pas di musim rayanya, bisa sampai jatuh di harga Rp4 ribu perkilonya dari petani,” kata Hendro.
Luas areal tanaman buah naga di Banyuwangi mencapai 3.786 hektare, dan produksi lebih 82 ribu ton per tahun. Kabupaten ini menjadi penghasil buah naga terbesar di Indonesia. Untuk memaksimalkan produksi, petani bahkan menerangi lahannya dengan ribuan lampu pada malam hari. Tidak mengherankan jika di sejumlah kawasan, langit nampak berwarna oranye.
Namun, langkah itu punya resiko. Ketika musim panen raya, harga buah naga jatuh. Pernah viral di media sosial, bagaimana petani buah naga di Banyuwangi membuang begitu saja hasil panen mereka karena frustasi.
Karena itu, petani seperti Hendro harus kreatif menjadikan buah naga bahan pangan lain, agar produksi bisa terserap. “Kalau bisa untuk produk olahan selanjutnya, akan menambah nilai. Semakin banyak produk olahan yang bisa kita buat, semakin banyak yang kita jual,” paparnya.
Para petani sebenarnya memiliki keahlian untuk memproduksi pangan berbahan hasil bumi yang mereka hasilkan. Namun, tidak ada sentuhan ilmu dan teknologi pada upaya mereka.
Desa Butuh Kehadiran Kampus
Untunglah, beberapa pekan terakhir, Hendro terbantu oleh kehadiran mahasiswa KKN dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta di daerahnya. Buah naga yang melimpah, menjadi salah satu konsentrasi program, dengan penciptaan produk makanan baru maupun penyempurnaan usaha yang sudah ada.
“Kami memberikan ilmu-ilmu yang kami dapatkan di kampus yang selama ini kami pelajari di kelas,” kata Dinda Lutfia Nabilla, salah satu koordinator KKN mahasiswa UGM di Banyuwangi.
Puluhan mahasiswa ini membantu petani sesuai ilmu yang mereka kuasai. Mahasiswa ilmu pangan misalnya, memperbaiki pengolahan produk pangan agar memiliki ketahanan yang lebih baik. Sementara mahasiswa teknik industri, membantu petani membuat packaging yang lebih baik dan menarik.
Sementara di lahan, mahasiswa pertanian juga mengajarkan petani cara membuat pupuk organik cair (POC) dengan metode yang benar. Selama ini, petani hanya menumpuk begitu saja limbah organik mereka, seperti buah busuk, dedaunan dan batang buah naga, dengan harapan bisa turut menyuburkan tanah. Padahal, dibutuhkan teknik tersendiri untuk membuat bahan-bahan organik itu menjadi pupuk yang lebih handal.
Dalam program digitalisasi, mahasiswa melatih warga dalam pemasaran produk melalui media sosial, edukasi materi pemasaran dan branding, dan pelatihan copywriting serta fotografi produk. Selain itu, ada pula pembuatan video dokumentasi potensi wisata desa untuk konten pemasaran melalui media sosial
“Sebagian besar dari petani sudah tahu tentang hal-hal seperti ini, namun untuk melakukannya secara benar dan memaksimalkan potensinya, mereka masih belum sampai pada tahap itu,” lanjut Nabilla.
Untuk peternak, mahasiswa juga mengajarkan teknologi pembuatan pakan. “Kita membuat urea molasses mineral block, itu untuk pakan ternak. Bahannya dari bahan-bahan yang sudah ada disini. Ternak lebih baik nafsu makannya setelah mengomsumsi ini,” kata Andini Lestari, salah satu mahasiswa KKN UGM di Banyuwangi.
Sejumlah produk pangan baru juga diciptakan untuk memanfaatkan buah naga ketika panen raya, seperti bakpia atau puding. Pangan tambahan juga diyakini mampu membantu masyarakat dan pemerintah daerah setempat, untuk mengatasi stunting, karena Banyuwangi masih mencatatkan angka stunting sebesar 17 persen.
Zaenab Albiya, salah satu warga desa lokasi KKN menyambut baik semua upaya ini. “Terobosan seperti ini sangat bagus. Kami dilatih bagaimana cara untuk pemasaran di media sosial. Warga yang sudah dilatih semoga nanti bisa saling menularkan ilmunya,” ujar Zaenab.
Mahasiswa dan Petani Saling Belajar
Di mata wakil rektor UGM, Dr Arie Sujito, KKN adalah kesempatan bagi mahasiswa untuk memberikan ide-ide kreatif bagi masyarakat, khususnya untuk memanfaatkan potensi sekitar.
“Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para mahasiswa bisa diuji secara praksis pada masyarakat dan masyarakat juga punya kesempatan untuk belajar pada mereka. Dan jauh lebih penting dari itu, sebetulnya KKN bisa menjadi tempat persemaian membangun karakter para mahasiswa,” kata Arie.
Persinggungan mahasiswa dari masyarakat secara langsung di desa, berikut semua persoalan lingkungan akan memperlihatkan daya adaptasi mahasiswa. “Belajar pada desa itu bukan sekedar soal teknikaliti. Tapi belajar membangun karakter dan ini sekaligus menjadi jejak bahwa UGM sebagai universitas kerakyatan, selalu membangun narasi seperti ini. Secara praksis, kita harus peduli,” tambah Arie.
Kelebihan dalam program-program KKN saat ini adalah karena fasilitas di pedesaan yang cenderung sudah lebih baik, partisipasi masyarakat cukup, teknologi tersedia, dan desa memiliki anggaran karena kucuran Dana Desa. Di sisi lain, kata Arie, perguruan tinggi dituntut terus memperbaiki kualitas program KKN.
“Makin banyak inovasi tumbuh dari desa, pengetahuan akan bisa dicangkokkan ke sana. Itulah bukti dari inklusivitas universitas. Dan saya ajak perguruan tinggi di berbagai tempat di Indonesia, untuk membuat kolaborasi membangun dan mengerjakan desa supaya ini akan jadi kekuatan Indonesia untuk bangkit, dari desa,” paparnya.
Kolaborasi itu, antara lain dibangun di Halmahera Utara. “Kami berkomitmen untuk itu. Sebab tidak mungkin memecahkan persoalan sendiri. Perguruan tinggi ada teori, perspektif, namun tidak bisa menjamah kalau tidak berkolaborasi. Begitu pula Pemda, dengan otoritas dan sumber daya yang ada butuh kolaborasi,” kata Arie, Rabu (2/8).
Sekda Halmahera Utara, Erasmus Joseph Papilaya berterimakasih atas upaya ini. “Kami sangat senang karena tema KKN UGM kali ini berbeda dari tahun sebelumnya dan bersifat kolaborasi, ada Pemda, Universitas Khairun dan Universitas Halmahera,” ujarnya dalam pernyataan resmi yang dipublikasikan.
Pemerintah Akui Peran KKN
Empat belas perguruan tinggi di Indonesia telah bergabung dalam Konsorsium Perguruan Tinggi Peduli Kependudukan (PTPK). Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terlibat dalam kerja sama ini. Universitas Gadjah Mada, adalah satu dari empat belas kampus yang terlibat.
Berbicara dalam peluncuran PTPK pada 18 Juli 2023, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menyebut peran penting perguruan tinggi dalam pelaksanaan program pembangunan sumber daya manusia.
Apalagi, kata Hasto, saat ini BKKBN tengah fokus pada program penurunan angka stunting dan persiapan untuk menghadapi bonus demografi di Indonesia.
“Dalam pelaksanaannya, dibutuhkan peran perguruan tinggi guna membantu menyukseskan pelaksanaan program. Kontribusi yang dilakukan dapat melalui pelaksanaan KKN dan magang dengan berfokuskan pada tematik stunting dan bonus demografi,” kata dia.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, juga telah mengembangkan kegiatan KKN Kebangsaan, hingga gelombang XI saat ini. Program ini mempertemukan hampir seribu mahasiswa dari seluruh Indonesia, untuk bekerja sama dan belajar bersama dengan masyarakat, dalam mengatasi persoalan yang mereka hadapi.
Plt. Dirjen Diktiristek, Nizam menyebut bukan hanya masyarakat yang memperoleh ilmu dari mahasiswa, KKN juga membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk berguru pada masyarakat.
“Ilmu kehidupan didapatkan justru dari kampus kehidupan, dari petani, masyarakat di desa, buruh, kuli dan para pekerja lapangan. Di sanalah hadir kearifan. Di sanalah belajar tentang keuletan, disiplin, tanggung jawab itulah salah satu tujuan penting dari KKN Kebangsaan,” kata Nizam dalam seremoni pembukaan kegiatan ini di Kalimantan Barat, 20 Juli lalu.
Sejarah Panjang KKN
KKN memiliki sejarah berliku di Indonesia. UGM yang berdiri pada 1949 menjadi perintisnya, dengan program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Pada tahun 1951 hingga 1962, UGM sudah mengirim mahasiswa sukarelawan untuk mengajar dan mendirikan sekolah menengah atas di luar Jawa. Ada 1.218 mahasiswa terlibat dan 109 sekolah menengah atas berhasil didirikan.
Tahun 1961, mahasiswa Fakultas Teknik UGM merintis pembangunan pipa air sepanjang 4 kilometer di kaki gunung Merapi, untuk memenuhi kebutuhan warga. Sementara pada periode tahun 1961-1964, mahasiswa fakultas-fakultas terkait kesehatan di UGM dikirim dalam penanganan wabah cacar dan disentri di Jawa Tengah, dan wabah berbagai penyakit di Sumatera bagian selatan. Mereka juga terlibat dalam program vaksinasi.
Setelah itu, dimulai pada 1964, mahasiswa sukarelawan dari fakultas-fakultas terkait pertanian dikirimkan ke berbagai desa di Jawa dan Sumatera, untuk menyosialisasikan “revolusi hijau”, terkait upaya peningkatan produksi beras.
Tahun 1971, Direktur Pendidikan Tinggi, Depdikbud yang ketika itu dijabat Prof. Koesnadi Hardjosoemantri, mengusulkan KKN sebagai kegiatan intrakurikuler pilihan. Universitas yang ditunjuk sebagai perintis adalah Universitas Andalas untuk wilayah barat, UGM untuk wilayah tengah dan Universitas Hasanuddin di wilayah timur. Setahun kemudian, program ini diperluas ke berbagai universitas hingga saat ini.
KKN sangat populer di kalangan mahasiswa. Bahkan, salah satu film paling laris di Indonesia yang pernah diproduksi, kisahnya berlatar belakang kegiatan ini, yaitu KKN di Desa Penari (2022). [ns/ab]
Forum