Pada waktu Paus Fransiskus berkunjung ke Myanmar akhir tahun ini untuk kunjungan pertama seorang pemimpin tertinggi Katolik ke negara yang mayoritas penduduknya adalah penganut Buddha itu, ia akan mendarat di negara yang memerlukan pemulihan.
Sejak merdeka pada tahun 1948, Myanmar dilanda oleh perselisihan sipil dan etnis, dipimpin oleh diktator militer selama puluhan tahun, dan sejak 2011, menghadapi transisi yang tidak mudah menuju demokrasi yang berpuncak pada kemenangan peraih Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi dalam pemilu 2015.
Proses perdamaian Myanmar terhenti, sementara pertempuran berlanjut antara militer dan kelompok-kelompok etnis bersenjata di bagian utara negara itu. Di bagian barat, puluhan ribu warga Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sementara pasukan keamanan menumpas pemberontakan baru Rohingya, yang mulai terjadi lagi pada 25 Agustus lalu.
Karena itu, ada yang mempertanyakan apakah Paus Fransiskus, yang terkenal karena berbagai isu seperti lingkungan hidup, imigrasi dan krisis migran yang dilontarkannya, dapat membantu meredakan ketegangan di Myanmar. Ada pula yang mempertanyakan apakah kehadirannya justru akan menyulut ketegangan lebih jauh.
Namun Pastor Mariano Soe Naing juru bicara mengenai lawatan Paus yang bekerja di Konferensi Uskup Katolik Myanmar mengatakan bahwa motto lawatan pemimpin Katolik itu adalah kasih dan perdamaian. Menurutnya, Paus akan berupaya menekankan aspek kasih, yang akan membawa perdamaian dan kerukunan di Myanmar.
Myanmar membangun hubungan diplomatik dengan Vatikan pada Mei lalu. Paus Fransiskus diperkirakan akan mengunjungi Myanmar mulai dari 27 hingga 30 November. Ia akan mengunjungi Yangon dan Naypyitaw, serta akan melanjutkan lawatannya ke Bangladesh. [uh/ab]