Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting sebagai bentuk hadirnya negara dalam melindungi warganya dari kekerasan seksual. KUPI dan Koalisi Perempuan Indonesia menegaskan bahwa RUU ini bukan pesanan dari gerakan feminis global.
Badan legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hari Selasa (13/7) kembali menggelar rapat dengar pendapat untuk mencari masukan sebanyak mungkin, sebagai bagian dari proses perumusan ulang Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual setelah draf yang lama tidak dipakai lagi.
Dalam rapat yang digelar di gedung MPR/DPR di Jakarta itu, Ketua Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Badriyah Fayumi menegaskan pandangan tentang kekerasan seksual yang dikeluarkan oleh organisasinya adalah suara yang murni karena ulama-ulama perempuan yang tergabung dalam KUPI berinteraksi di akar rumput, orang-orang yang berkegiatan di masyarakat, seperti guru mengaji dan pendakwah.
Seperti disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati Tangka dalam kesempatan yang sama, Badriyah membantah asumsi bahwa pandangan KUPI tentang kekerasan seksual adalah “titipan gerakan feminis global.”
Dia menekankan pandangan KUPI atas kekerasan seksual merupakan proses otentik dan organik yang muncul dari bawah atau masyarakat.
"KUPI bergerak dengan spirit Islam rahmatan lil alamin, mewujudkan misi risalah Nabi yang berakhlak mulia. Kekerasan seksual bertentangan dengan tauhid, bertentangan dengan akhlak mulia, dan bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila pertama dan sila kedua," ujar Badriyah.
Badriyah menambahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting untuk segera dibahas dan disahkan karena berbagai faktor. Mantan Komisioner Komnas Perempuan tersebut menyebutkan bahwa kekerasan seksual telah terjadi di mana saja dan makin meningkat kuantitas serta kualitas kekerasannya.
Di samping itu sebagian masyarakat menganggap kekerasan seksual sebagai hal biasa dan bahkan dijadikan bahan lelucon, padahal dampak negatifnya terhadap korban sangat luar biasa.
Korban kekerasan seksual juga sering diposisikan sebagai pelaku sehingga bukannya mendapat perlindungan hukum, korban malah dikenai sanksi hukum dan sosial.
Menurut Badriyah, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting sebagai bentuk hadirnya negara dalam melindungi warganya dari kekerasan seksual. Hal ini juga sangat diperlukan sebagai salah satu instrumen untuk membangun moral masyarakat dan bangsa serta buat membangun ketahanan keluarga.
Oleh karena itu Badriyah menekankan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus mencakup semua bentuk kekerasan seksual.
KPI Paparkan Payung Hukum Untuk Melindungi Korban Kekerasan Seksual
Dalam rapat tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati Tangka menjelaskan payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual sangat penting karena kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ranah domestik lagi tapi sudah merambah ke ranah publik seperti tempat kerja, sekolah, kampus, transportasi umum, dan bahkan mungkin di institusi keagamaan.
Selain itu, lanjut Mike, undang-undang mengenai kekerasan seksual sangat dibutuhkan karena perangkat hukum yang ada selama ini belum cukup untuk memberi kepastian proses hukum.
"Sehingga mengakibatkan korban terus terpuruk dan dampak kekerasan yang terus berkepanjangan. Kebijakan yang komprehensif mengatur soal kekerasan seksual akan memperbaiki kultur kekerasan atau tradisi pelestarian kekerasan seksual," kata Mike.
Mike menegaskan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual nantinya harus mampu memperkuat layanan terintegrasi penanganan korban kekerasan seksual, yakni berfokus betul pada penanganan dan pemulihan korban (fisik psikologis, sosial), penghargaan terhadap martabat korban, pelibatan setiap elemen masyarakat, serta sinergi, kolaborasi, dan penguatan kapasitas setiap sektor.
Anggota Baleg Serukan Pembahasan RUU PKS Tak Berdasarkan Kecurigaan
Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat Taufik Basari mengatakan berdasarkan pemaparan para narasumber, dia mengaku semakin memahami apa yang akan diatur dalam rumusan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual didasarkan pada fakta, data, dan pengalaman ketika aktivis dan organisasi pembela hak perempuan mendampingi para korban kekerasan seksual.
"Kalau kita bicara metodologi, maka ini dasar yang paling valid, sumber yang primer. Bandingkan dengan dasar dugaan-dugaan, kemudian bayang-bayang ketakutan, isu-isu, teori konspirasi, seperti konspirasi pesanan budaya Barat lah, konspirasi gerakan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual), kecurigaan-kecurigaan yang akhirnya membuat kita terjebak pada pandangan biner," tutur Taufik.
Berdasarkan pengalaman pribadinya dalam mengadvokasi kasus-kasus kekerasan seksual, Taufik menyebutkan sejumlah fakta menyedihkan yakni pengalaman pahit korban, penegakan hukum yang belum berpihak kepada korban, serta belum optimalnya peran negara dalam melakukan pencegahan, edukasi, dan pemulihan korban kekerasan seksual. [fw/em]