Baru-baru ini kasus lahirnya seorang bayi dengan anggota tubuh di luar kewajaran kembali terjadi di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Pada Senin (18/11) lahir seorang bayi tanpa batok kepala dan sebagian otak berada di luar dengan volume lebih besar dari biasanya.
Kejadian tersebut mengingatkan kembali pada kasus bayi yang mengidap cyclops syndrome atau biasa disebut cyclopia (bermata satu) pada 13 September 2018 di Rumah Sakit Umum Daerah Panyabungan, Mandailing Natal.
Dalam kurun waktu dua tahun sedikitnya ada enam bayi yang terlahir tidak normal di Mandailing Natal. Bayi-bayi itu diduga terpapar zat kimia berbahaya seperti merkuri pada saat masih janin. Diketahui wilayah Mandailing Natal banyak ditemukan pertambangan ilegal dan legal milik rakyat atau perseorangan. Dugaan itu paling tidak dikuatkan oleh surat edaran dari Bupati Mandailing Natal, Dahlan Hasan Nasution tentang pertambangan liar di wilayahnya.
Dalam isi surat itu tertulis bahwa ibu dari bayi yang lahir dengan otak berada di luar batok kepala sehari-hari bekerja sebagai buruh di kawasan tambang emas rakyat di Mandailing Natal. Saat hamil ibu dari bayi malang tersebut bekerja atau mengoperasikan mesin yang digunakan untuk memproses pemisahan bebatuan dengan biji emas yang telah dicampur zat kimia. Pada saat bekerja, perempuan tidak memakai sarung tangan. Singkat kata, bayi itu terpapar zat kimia berbahaya akibat mata pencarian ibunya.
Tidak hanya itu menjadi kecemasan masyarakat Mandailing Natal. Merkuri yang digunakan dalam proses pertambangan emas mengalir ke selokan, parit, dan sungai. Padahal sungai kerap digunakan masyarakat sebagai sarana untuk mandi dan mencuci.
Kepala Dinas Kesehatan Mandailing Natal, Syarifuddin Lubis menuturkan kepada VOA, pihaknya telah mengimbau kepada masyarakat yang menggantungkan hidupnya di pertambangan emas tentang bahaya dari paparan merkuri. Namun, masih ada para pekerja di pertambangan emas enggan mengindahkan hal tersebut.
"Kami sudah mengimbau kepada masyarakat, dan menyampaikan ke seluruh puskesmas. Tapi masyarakat yang bekerja sebagai penambang liar tidak menggubrisnya. Kementerian Kesehatan sudah mengambil beberapa sampel beberapa hari yang lalu, dan hasilnya belum kami terima. Kita tunggu saja," ujar Syarifuddin, Selasa (19/11).
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut, Dana Prima Tarigan mengatakan pertambangan emas di Mandailing Natal telah menjamur. Menurutnya, masih banyak pertambangan emas di wilayah itu yang masih menggunakan merkuri. Padahal sudah jelas bahwa merkuri sangat berbahaya terutama bagi wanita hamil.
"Banyak tambang yang tak memiliki izin dan milik pribadi. Kadang pemiliknya bukan masyarakat itu sendiri tapi ada pemodalnya dan membahayakan karena merkurinya tidak terkontrol dan dibuang begitu saja ke sungai. Ini dampak yang sudah kami peringatkan beberapa tahun lalu. Kalau tidak ada penindakan dan digunakan secara bebas, ini akan membahayakan lingkungan dan masyarakat sekitar," kata Dana kepada VOA.
Sementara itu Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Djati Witjaksono Hadi mengatakan Direktorat Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) saat ini sedang memverifikasi kasus merkuri dari tambang emas yang diduga mencemari lingkungan.
"Saat ini dengan laporan itu dari direktorat jenderal yang menangani masalah merkuri sudah melakukan verifikasi ke sana. Tentang kebenaran itu disebabkan oleh karena terpapar penambangan atau tidak," katanya kepada VOA.
Ketika ditanyai soal jumlah pertambangan legal atau ilegal di Mandailing Natal, Kementerian LHK tidak mengetahui pasti berapa banyak. Pasalnya, kewenangan izin tambang ada di ranah pemerintah daerah.
"Kalau tambang liar di luar pengawasan kami. Maksudnya kami tidak tahu berapa jumlah (tambang liar) karena tidak tahu pasti karena ini kewenangan izin tambang di provinsi. Intinya kami berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait dengan perizinan karena itu diterbitkan oleh Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atau daerah. Kalau liar berarti tidak ada izin, jadi kami tidak tahu berapa banyak yang bermain di sana," jelas Djati.
Kendati demikian Kementerian LHK siap melakukan penindakan atau penertiban terhadap tambang ilegal atau legal yang mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat sekitar.
"Ya pasti, tapi kami akan memberikan kesempatan kepada daerah karena kewenangan ada di sana. Kalau di daerah tidak ada tindakan baru dari KLHK akan melakukan second line law enforcement," tandas Djati. [aa/ab]