Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan hukuman penjara enam tahun dan denda sebesar Rp 500 juta subsider empat bulan kurungan terhadap wali kota Medan nonaktif, Dzulmi Eldin.
Ketua majelis hakim, Abdul Aziz, dalam persidangan yang digelar secara telekonferensi itu menilai Eldin bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Eldin terbukti menerima suap senilai Rp 2,1 miliar dari sejumlah kepala organisasi perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Kota (Pemko) Medan.
"Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan," kata Aziz di Pengadilan Negeri Medan, Kamis (11/6) sore.
Bukan hanya itu, Eldin juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama empat tahun.
"Menjatuhkan hukuman tambahan kepada Dzulmi Eldin berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun, setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," ujar majelis hakim.
Menyikapi putusan tersebut terdakwa maupun penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menyatakan pikir-pikir.
Putusan yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Eldin lebih rendah dari tuntutan penuntut umum KPK. Dalam amar tuntutan di persidangan sebelumnya, penuntut umum dari KPK meminta kepada majelis hakim agar Eldin dihukum tujuh tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan dan pencabutan hak politik terdakwa selama lima tahun.
Perbuatan ini diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Dalam dakwaan itu, Eldin dituduh melakukan perbuatan berlanjut yaitu menerima hadiah berupa uang secara bertahap yakni berjumlah Rp 2,1 miliar dari beberapa kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) atau pejabat eselon II Pemko Medan dan juga kepala Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Uang itu diterima melalui Kepala Sub Bagian Protokol Bagian Umum Sekretariat Daerah Pemko Medan, Samsul Fitri. Padahal Eldin mengetahui atau patut menduga bahwa uang itu diberikan agar dia tetap mempertahankan jabatan para pemberi. Para kepala OPD yang diangkat terdakwa karena jabatannya memperoleh manfaat dari mengelola anggaran di satuan kerjanya masing-masing.
Perkara ini berawal saat Eldin memberikan kepercayaan kepada Samsul Fitri untuk mengelola anggaran kegiatan wali kota baik yang ditampung pada APBD maupun non budgeter. Untuk memenuhi kebutuhan anggaran yang tidak ada dalam APBD tersebut, Eldin memberikan arahan kepada Samsul Fitri untuk meminta uang kepada kepala OPD di lingkungan Pemko Medan guna mencukupi kebutuhan itu.
Samsul Fitri menindaklanjuti arahan itu dengan meminta uang kepada para kepala OPD atau pejabat eselon II. Salah satu permintaan itu terkait kebutuhan dana yang untuk menutupi kekurangan anggaran dalam perjalanan Eldin menghadiri undangan perayaan peringatan 30 tahun 'Program Sister City' di Kota Ichikawa, Jepang pada 15-18 Juli 2019.
Dalam kunjungan itu, Eldin membawa istri, dua anaknya, serta sejumlah kepala OPD. Total dibutuhkan Rp 1,5 miliar untuk dana akomodasi kunjungan ke Jepang itu. Sementara APBD Kota Medan hanya mengalokasikan Rp 500 juta. Permintaan dana, termasuk untuk kunjungan ke Jepang itu, dipatuhi para kepala OPD. Secara keseluruhan, Elddin melalui Samsul Fitri beberapa kali menerima uang secara bertahap. Totalnya berjumlah Rp 2,1 miliar.
Kemudian, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa, 15 Oktober hingga Rabu 16 Oktober 2020. Lalu, KPK menetapkan Eldin, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan Isa Ansyari, dan Samsul Fitri sebagai tersangka. Dalam kasus ini Isa Ansyari dihukum dua tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan. Sementara Syamsul Fitri dihukum empat tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider dua bulan kurungan.
Sementara itu, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman mengatakan hukuman penjara beserta pencabutan hak politik yang dijatuhkan kepada Eldin merupakan langkah yang tepat. Tujuan utama dari pencabutan hak politik adalah memberikan jeda kepada terpidana agar tidak bisa segera kembali memasuki dunia politik untuk dipilih sebagai pejabat publik.
"Yang paling penting vonis ini disertai pencabutan hak politik. Di mana pencabutan hak politik memang sangat penting agar pelaku tidak lagi dapat segera menggunakan sisa kekuasaan atau relasi yang dimiliki untuk kembali masuk ke gelanggang politik," kata Zaenur saat dihubungi VOA.
Lebih lanjut, Zaenur juga menyoroti kasus korupsi yang kerap melibatkan wali kota Medan dalam tiga periode belakangan. Bahkan kasus korupsi yang dilakukan Eldin menambah rentetan daftar wali kota Medan yang tersandung kasus korupsi. Sebelumnya, dua mantan Wali Kota Medan, Abdillah dan Rahudman Harahap, mengalami peristiwa serupa. Zaenur berpendapat, ini menunjukkan adanya satu tradisi yang sangat buruk di lingkungan Pemko Medan.
"Satu kondisi yang sangat memprihatinkan. Kita sangat bersimpati kepada rakyat Medan yang pemimpinnya terus mengkhianati kepercayaan masyarakatnya dengan melakukan tindak pidana korupsi," ujarnya.
Masih kata Zaenur, tindakan yang dilakukan Eldin dengan menerima uang dari kepala dinas dinilai akan memicu korupsi-korupsi lain yang sangat mungkin dilakukan di lingkungan Pemko Medan.
"Ini dampak dari korupsi tersebut meskipun Rp 2,1 miliar, tapi kemudian menyebar bibit-bibit korupsi di semua lingkungan Pemko Medan," pungkasnya. [aa/ab]