Kapal Badan Keamanan Laut (Bakamla) Indonesia KN Maroe 322 Minggu siang (24/1) berhasil mengamankan dua kapal asing berbendera Iran dan Panama yang diduga melakukan transfer atau pengalihan bahan bakar minyak secara ilegal di perairan Pontianak, Kalimantan Barat. KN Maroe 322 yang dikomandoi Letkol Bakamla Yuli Eko Prihartono menangkap kedua kapal yang identitasnya sempat disembunyikan itu ketika sedang menggelar Operasi Keamanan dan Keselamatan Laut Dalam Negeri “Trisula I 2021.”
Dihubungi VOA melalui telepon, Kabag Humas dan Protokol Bakamla, Kolonel Bakamla Wisnu Pramandita mengatakan kecurigaan berawal ketika upaya melakukan komunikasi radio pada kedua kapal tidak mendapat jawaban sama sekali.
“Kami mendapati kontak yang anomali atau tidak biasa di radar. Besar tapi diam. Setelah didekati ternyata benar mereka adalah kapal tanker berbendera asing. Dari pemeriksaan di atas kapal diketahui bahwa mereka melakukan transfer minyak mentah di perairan Indonesia. Mereka cukup kooperatif menjawab pertanyaan-pertanyaan aparat kita,” ujar Wisnu.
Bakamla mendapati kapal berbendera Iran MT Horse memiliki 30 awak berkewarganegaraan Iran. Sementara kapal berbendera Panama MT Frea memiliki 25 awak berkewarganegaraan China.
Berikut video saat petugas Bakamla (Badan Keamanan Laut Indonesia) berbicara dengan awak kapal Iran yang ditahan hari Minggu (24/1) (courtesy: Bakamla RI).
Kapal Iran & Panama Lakukan 4 Pelanggaran
Wisnu Pramandita menggarisbawahi empat pelanggaran yang dilakukan kedua kapal tanker itu. “Pertama mereka melanggar hak lintas ALKI yang disediakan Indonesia. Mereka seharusnya berada dalam koridor lintas ALKI 1 tetapi ternyata berada di luar koridor 25 nautical mile kiri dan kanan dari sumbu ALKI itu, bahkan melakukan lego jangkar yang jelas tidak dibenarkan. Kedua, mereka melakukan transfer crude oil. Ketiga, mereka mematikan AIS selama berada di perairan Indonesia. Keempat, membuang limbah di perairan kita. Mereka juga tidak menunjukkan bendera kapal dan bahkan menutupi identitas di lambung kapal dengan semacam kain, terpal atau jaring.”
AIS atau automatic identification system adalah sistem pelacakan kapal otomatis yang memberi informasi tentang keadaan kapal, termasuk rincian posisi, waktu, haluan dan kecepatan kapal, demi kepentingan keselamatan pelayaran. Pemerintah Indonesia lewat Peraturan Menteri Perhubungan No.7/2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis bagi Kapal yang berlayar di Wilayah Perairan Indonesia mengharuskan pemasangan dan pengaktifan AIS ini bagi setiap kapal berbendera Indonesia dan kapal asing yang berlayar di wilayah perairan Indonesia.
Stasiun televisi pemerintah Iran melaporkan tentang insiden penangkapan dan penyitaan kapal tankernya oleh pihak berwenang Indonesia, tetapi tidak merinci lebih jauh tentang hal ini.
Staf Kementerian Luar Negeri Indonesia telah menghubungi Bakamla untuk menindaklanjuti kasus ini. Namun hingga laporan ini disampaikan VOA belum berhasil mendapat konfirmasi dari Kementerian Luar Negeri.
Bakamla Buat Skala Prioritas Pengamanan di Laut
Insiden mematikan sistem pelacakan dan identitas kapal AIS, pengalihan minyak mentah secara ilegal atau membuang limbah di perairan Indonesia kerap terjadi. Bahkan saat operasi pencarian dan penyelamatan korban kecelakaan pesawat Sriwijaya Air beberapa minggu lalu, Bakamla mendapati kapal survei yang tiga kali mematikan AIS sewaktu melintasi ALKI 1. Sewaktu didekati, nakhoda kapal mengatakan sistem pelacakan itu rusak.
ALKI adalah singkatan Alur Laut Kepulauan Indonesia, yang telah ditetapkan sebagai alur pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS. ALKI juga digunakan sebagai alur pelayaran dan penerbangan bagi kapal atau pesawat negara lain melakukan pelayaran dan penerbangan internasional.
ALKI I mencakup Selat Sunda, Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan.
ALKI II mencakup Selat Lombok, Selat Makassar dan Laut Sulawesi.
ALKI III dibagi tiga – wilayah A, B dan C. ALKI III A mencakup Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda, Laut Seram, Laut Maluku dan Samudera Pasifik. Sementara ALKI
III B mencakup Laut Timor, Selat Leti, Laut Banda, Laut Seram, Laut Maluku dan Samudera Pasifik. ALKI III C mencakup Laut Arafuru, Laut Banda, Laut Seram, Laut Maluku dan Samudera Pasifik.
“Yang pasti kami terus meningkatkan pemantauan pada wilayah perairan kita. Dan mengingat wilayahnya yang sangat luas, kami harus menentukan prioritas. Yang kami prioritaskan adalah wilayah perairan di ALKI 1, 2 dan 3. Juga selat-selat yang strategis, seperti Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makassar. Yang pasti kita harus melakukan penindakan sebagai wujud ketegasan integritas kita menjaga wilayah perairan kita ini,” tegas Wisnu. [em/jm]