Keputusan pemerintah militer Thailand untuk mengakhiri pengadilan militer atas kebanyakan kasus kejahatan sipil mengundang pujian dan keraguan dari para aktivis HAM dan pengacara. Mereka mengatakan, lebih banyak langkah perlu diambil, termasuk membolehkan kebebasan berkumpul.
PM Prayuth Chan-ocha mengeluarkan perintah untuk mengakhiri yuridiksi pengadilan militer atas pelanggaran-pelanggaran terkait keamanan internal, pembangkangan dan penghinaan terhadap keluarga kerajaan.
Segera setelah berkuasa pada Mei 2014, militer pada awalnya memberlakukan UU darurat perang. Namun junta, yang dikenal sebagai Komisi Nasional Bagi Perdamaian dan Ketertiban, belakangan memperkokoh cengkeramannya dengan memberlakukan konstitusi sementara yang memungkinkan proses hukum melalui pengadilan militer.
Sejak itu, pengadilan militer telah menyidangkan lebih dari 1.500 kasus yang melibatkan lebih dari 1.800 orang di berbagai penjuru negara itu, umumnya terkait senjata.
Wakil PM Thailand dan Menteri Pertahanan Prawit Wonsuwan mengatakan, perintah baru itu mencerminkan keyakinan pemerintah atas kontrol negara. Namun dalam sebuah pernyataan ke media Thailand. Ia memperingatkan bahwa peraturan lama bisa diberlakukan kembali jika situasi dalam negeri berubah. [ab/as]