YOGYAKARTA —
Kasus penyerangan dan pembunuhan yang dilakukan gerombolan bersenjata tidak dikenal di Lapas Sleman hari Sabtu, 22 Maret lalu telah membuat 31 narapidana yang berada satu sel dengan korban mengalami goncangan kejiwaan.
Menurut penuturan Kepala Lapas Sleman, Sukamto, guncangan kejiwaan itu muncul karena mereka melihat sendiri bagaimana eksekusi dilakukan terhadap keempat korban.
Ke-31 narapidana itu dipaksa berkumpul, terpisah dari korban dan melihat peluru ditembakkan dari senjata laras panjang. Mereka berhimpitan di ruangan sel seluas 50 meter persegi. Darah korban yang ditembak dari jarak dekat terpercik ke dinding dan lantai. Banyak dari saksi mata itu yang terguncang hingga dua hari setelah peristiwa tersebut.
Sebuah tim khusus telah dibentuk untuk mengembalikan kondisi kejiwaan para napi sekaligus saksi mata itu. “Kita ada healing, kita ada recovery bagi mereka. Kita tidak bisa berbohong bahwa pengalaman itu menjadi suatu tekanan moril yang sangat berat bagi mereka dan juga petugas kami," kata Kepala Lapas Sleman, Sukamto.
"Tadi juga sudah ada komunitas gereja yang melakukan ibadah untuk mengembalikan ketenangan mereka, dalam beberapa waktu dekat juga akan ada beberapa ustad kesini. Ini salah satu upaya kami untuk mengembalikan suasana hati dan suasana psikis mereka,” tambah Sukamto.
Sementara itu, tim dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) hari Selasa siang melakukan investigasi di Lapas Sleman. Salah satu petugas dari Komnas HAM, Mimin Dwi Hartono memaparkan bahwa selama enam jam tim telah bertemu dengan seluruh pihak internal Lapas, baik petugas maupun warga binaan.
Salah satu temuan yang didalami oleh tim adalah kesaksian penting dari 31 narapidana yang berada satu sel dengan korban. Menurut Mimin, Komnas HAM akan meminta agar para saksi mata ini memperoleh perlindungan dari negara. “Orang-orang yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut kan kurang diperhatikan. Jadi kita mendorong agar Napi atau tahanan yang melihat langsung itu diberi perlindungan, mereka juga harus dipulihkan. Kita akan berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban," kata Dwi Hartono. "Sewajarnyalah mereka takut karena baru pertama kali menyaksikan secara langsung pembunuhan sadis semacam itu, karena itu sudah menjadi kewajaran bagi negara untuk melindungi mereka,” tambahnya.
Tim yang dipimpin langsung oleh Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila ini akan bertemu dengan berbagai pihak, seperti kepolisian, masyarakat NTT di Yogyakarta dan juga Gubernur DIY. Komnas HAM akan menyerap seluruh informasi yang tersedia sebelum kemudian mengeluarkan rekomendasi. Menurut Siti Noor Laila, proses penyelidikan ini merupakan langkah penting untuk mengungkap kasus tersebut.
“Komnas HAM melihat penting untuk melakukan pemantauan dan penyelidikan, karena, pertama ini di rumah negara yang mestinya yang ada di dalam ada dalam perlindungan negara. Yang kedua, semua warga masyarakat itu punya hak untuk hidup dan tidak bisa digantikan dengan yang lain. Itu hak yang paling dasar dan disini di rumah negara terjadi perampasan atas hak hidup masyarakat,” kata Siti Noor Laila.
Dari investigasi sementara Komnas HAM dan penuturan sejumlah petugas Lapas, diperoleh gambaran, bahwa para pelaku menggunakan penutup wajah, mengenakan rompi anti peluru dilengkapi granat tangan yang tergantung di dada. Masing-masing pelaku membawa pistol dan juga senjata laras panjang.
Belum diketahui berapa jumlah pasti anggota gerombolan bersenjata tersebut, meski perkiraan sementara antara 15-20 orang. Ada empat penyerang yang masuk ke sel para korban, tetapi hanya satu orang yang melakukan eksekusi.
Penyerang juga meminta 31 narapidana yang berada satu sel dengan korban untuk bertepuk tangan setelah aksi mereka selesai. Gerombolan ini merampas empat telepon genggam milik petugas dan merampas server penyimpan rekaman kamera keamanan beserta dua buah pesawat televisi.
Menurut penuturan Kepala Lapas Sleman, Sukamto, guncangan kejiwaan itu muncul karena mereka melihat sendiri bagaimana eksekusi dilakukan terhadap keempat korban.
Ke-31 narapidana itu dipaksa berkumpul, terpisah dari korban dan melihat peluru ditembakkan dari senjata laras panjang. Mereka berhimpitan di ruangan sel seluas 50 meter persegi. Darah korban yang ditembak dari jarak dekat terpercik ke dinding dan lantai. Banyak dari saksi mata itu yang terguncang hingga dua hari setelah peristiwa tersebut.
Sebuah tim khusus telah dibentuk untuk mengembalikan kondisi kejiwaan para napi sekaligus saksi mata itu. “Kita ada healing, kita ada recovery bagi mereka. Kita tidak bisa berbohong bahwa pengalaman itu menjadi suatu tekanan moril yang sangat berat bagi mereka dan juga petugas kami," kata Kepala Lapas Sleman, Sukamto.
"Tadi juga sudah ada komunitas gereja yang melakukan ibadah untuk mengembalikan ketenangan mereka, dalam beberapa waktu dekat juga akan ada beberapa ustad kesini. Ini salah satu upaya kami untuk mengembalikan suasana hati dan suasana psikis mereka,” tambah Sukamto.
Sementara itu, tim dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) hari Selasa siang melakukan investigasi di Lapas Sleman. Salah satu petugas dari Komnas HAM, Mimin Dwi Hartono memaparkan bahwa selama enam jam tim telah bertemu dengan seluruh pihak internal Lapas, baik petugas maupun warga binaan.
Salah satu temuan yang didalami oleh tim adalah kesaksian penting dari 31 narapidana yang berada satu sel dengan korban. Menurut Mimin, Komnas HAM akan meminta agar para saksi mata ini memperoleh perlindungan dari negara. “Orang-orang yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut kan kurang diperhatikan. Jadi kita mendorong agar Napi atau tahanan yang melihat langsung itu diberi perlindungan, mereka juga harus dipulihkan. Kita akan berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban," kata Dwi Hartono. "Sewajarnyalah mereka takut karena baru pertama kali menyaksikan secara langsung pembunuhan sadis semacam itu, karena itu sudah menjadi kewajaran bagi negara untuk melindungi mereka,” tambahnya.
Tim yang dipimpin langsung oleh Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila ini akan bertemu dengan berbagai pihak, seperti kepolisian, masyarakat NTT di Yogyakarta dan juga Gubernur DIY. Komnas HAM akan menyerap seluruh informasi yang tersedia sebelum kemudian mengeluarkan rekomendasi. Menurut Siti Noor Laila, proses penyelidikan ini merupakan langkah penting untuk mengungkap kasus tersebut.
“Komnas HAM melihat penting untuk melakukan pemantauan dan penyelidikan, karena, pertama ini di rumah negara yang mestinya yang ada di dalam ada dalam perlindungan negara. Yang kedua, semua warga masyarakat itu punya hak untuk hidup dan tidak bisa digantikan dengan yang lain. Itu hak yang paling dasar dan disini di rumah negara terjadi perampasan atas hak hidup masyarakat,” kata Siti Noor Laila.
Dari investigasi sementara Komnas HAM dan penuturan sejumlah petugas Lapas, diperoleh gambaran, bahwa para pelaku menggunakan penutup wajah, mengenakan rompi anti peluru dilengkapi granat tangan yang tergantung di dada. Masing-masing pelaku membawa pistol dan juga senjata laras panjang.
Belum diketahui berapa jumlah pasti anggota gerombolan bersenjata tersebut, meski perkiraan sementara antara 15-20 orang. Ada empat penyerang yang masuk ke sel para korban, tetapi hanya satu orang yang melakukan eksekusi.
Penyerang juga meminta 31 narapidana yang berada satu sel dengan korban untuk bertepuk tangan setelah aksi mereka selesai. Gerombolan ini merampas empat telepon genggam milik petugas dan merampas server penyimpan rekaman kamera keamanan beserta dua buah pesawat televisi.