Sebuah laporan tahunan pemerintah Amerika mendapati kebebasan beragama terancam di seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang disebut memprihatinkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika, yakni Rusia, Iran, Korea Utara dan Myanmar. Para pejabat Amerika hari Selasa (29/5), mengumumkan bahwa Washington akan menjadi tuan rumah pertemuan pertama tingkat menteri dengan sekutu-sekutu yang memiliki kesamaan pemikiran, untuk memajukan kebebasan beragama, pada Juli mendatang.
"Mengerikan." Begitulah rangkuman kesan Departemen Luar Negeri Amerika mengenai kondisi kebebasan beragama di seluruh dunia, dalam evaluasi tahunannya terhadap 200 negara yang dilansir hari Selasa.
Di Asia Tenggara, para pejabat Amerika mencatat situasi “putus asa” di kalangan Muslim Rohingya, yang mengalami kekerasan, diskriminasi dan pelecehan di Myanmar yang mayoritas penduduknya Buddhis. Ratusan ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh.
Sam Brownback, Duta Besar Luar Biasa untuk urusan Kebebasan Beragama Internasional, mengatakan,"Menurut saya ini terus memburuk. Tetapi itu sebabnya orang harus melangkah semakin agresif sebagai bangsa dan mendesakkan tentangan terhadap apa yang dilakukan militer di Myanmar dan apa yang terjadi di negara itu.”
Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo, Selasa (29/5) mengatakan, memajukan dan membela kebebasan beragama merupakan prioritas bagi Amerika. Ia mengumumkan tentang pertemuan pada musim panas ini dengan mitra-mitranya dari negara lain.
Pompeo mengemukakan, “Dalam pertemuan tingkat menteri ini kami mengharapkan adanya landasan baru. Ini bukan sekadar grup diskusi, ini juga akan merupakan tindakan. Kami berharap dapat mengidentifikasi cara-cara konkret untuk mendesak tentangan terhadap persekusi dan memastikan penghormatan yang lebih besar terhadap kebebasan beragama bagi semua orang.”
Laporan ini dilansir sementara Amerika berdialog dengan Korea Utara mengenai denuklirisasi. Amerika juga mengemukakan tentang ribuan orang di negara itu yang masih dipenjarakan karena masalah keagamaan.
Brownback menambahkan,“Apa yang kami tahu adalah ada sistem gulag yang dilakukan di Korea Utara, dan selama bertahun-tahun ini merupakan situasi yang mengerikan.”
Departemen Luar Negeri juga mengritik Rusia dan Iran karena terus bersikap keras dalam berhubungan dengan kelompok-kelompok minoritas keagamaan.
Dalam laporan tahunan mengenai kebebasan beragama itu, Departemen Luar Negeri mencatat kemajuan di beberapa negara, termasuk Vietnam, di mana Amerika baru saja mengakhiri suatu dialog HAM bilateral.
Scott Busby, deputi asisten Menteri Luar Negeri Amerika menyatakan, "Mereka baru-baru ini mengesahkan suatu undang-undang mengenai agama dan kepercayaan dan mereka sedang kelabakan dalam menerapkan undang-undang tersebut. Mereka bersedia berbicara dengan kami mengenai undang-undang tersebut dan penerapannya, tetapi kami masih prihatin karena ada pembatasan-pembatasan terhadap kemampuan individu dan gereja dan berbagai institusi keagamaan lainnya untuk menggunakan hak mereka beragama secara bebas.”
Para pejabat senior Amerika menyatakan memajukan kebebasan beragama penting untuk memerangi terorisme dan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia. [uh/gp]