Kasus Muslim Uighur di provinsi Xinjiang, China, menjadi salah satu sorotan dari laporan HAM Departemen Luar Negeri AS yang dirilis Rabu (13/3). Laporan itu menyebutkan, penahanan Muslim Uighur di kamp-kamp pengasingan sangat memprihatinkan dan perlu segera dihentikan.
AS dan sejumlah pemerintah Barat lain, serta kelompok-kelompok HAM, telah menuduh China menahan Uighur dan Muslim-muslim lain di kamp-kamp pengasingan untuk menghapuskan identitas agama dan budaya mereka.
China mengatakan, kamp-kamp tersebut merupakan bagian dari program deradikalisasi. Kamp-kamp itu sebetulnya merupakan pusat-pusat pelatihan kejuruan untuk mengajarkan orang-orang mengenai hukum dan bahasa Mandarin. Pihak berweang China, Selasa, mengatakan, kamp-kamp di Xinjiang itu akan ditutup secara bertahap sampai tiba masanya masyarakat tidak membutuhkannya lagi.
Samuel Brownback, duta beasr AS untuk kebebasan beragama, mengatakan, Jumat, paad sebuah pidato di Hong Kong, penahanan yang dilakukan China tidak sesuai dengan ancaman nyata yang dihadapi negara itu dari ekstremisime.
“China tidak mengatasi masalah teroris dengan memaksa masuk perempuan-anak-anak, lansia, orang-orang berpendidikan tinggi ke puaat-pusat penahanan massal dan kamp-kamp pengasingan. Sebaliknya, China justru menciptakan masalah teroris,”
Para legislator AS mendesak pemerintahan Trump untuk mengambil tindakan lebih keras terhadap China. Komisi Urusan Luaer Negeri DPR AS mengatakan kepada Menlu AS Maike Pompeo, pemerintahan Trump tidak mengambil tindakan berarti terkait masalah itu.
Pompeo mengatakan, pemerintahan Trump sedang mempertimbangkan sanksi-sanksi terhadap para pejabat China yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM kelompok Uighur di Xinjiang. [ab]